PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM CERPEN
“KAMBANG
KADA SAKAKI, KUMBANG KADA SAIKUNG, ALAM KADA BATAWING”
Dosen
Prof. Dr. Jumadi, M.Pd.
Oleh
Noor Janah
NIM A1B112006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
1.
Latar
Belakang
Pragmatik adalah
studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan
ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibat studi ini lebih
banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah kajian tentang
penggunaan bahasa sesungguhnya. Pragmatik mencakup bahasan mengenai deiksis,
praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan.
Di sini peneliti
akan membahas mengenai penggunaan deiksis. Penggunaan deiksis perlu dibahas
karena banyaknya makna yang terkandung dalam deiksis tersebut yang menyebabkan
terkadang orang kesulitan memaknai suatu tuturan.
Deiksis adalah suatu
acuan atau referen yang tidak tetap, seperti kata saya, sini, sekarang.
Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu kepada A
atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur, kata
sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang berbicara.
Deiksis tebagi
lagi menjadi beberapa, yaitu: deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu,
deiksis sosial, dan deiksis wacana. Dalam bentuk tulisan deiksis bisa muncul
pada novel, cerpen, dan bentuk wacana lainnya. Peneliti di sini memilih cerpen
“Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” sebagai objek penelitian karena
cerita tersebut berbahasa Banjar dan di sini peneliti membahas deiksis dalam
bahasa Banjar dengan tujuan melestarikan bahasa daerah.
Dari latar belakang
di atas dapat ditentukan rumusan masalah, yaitu bagaimanakah penggunaan deiksis
dalam cerpen “Kambang
Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”?
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan deiksis dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada
Batawing”.
Adapun manfaat
dalam penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan penunjang
kegiatan perkuliahan mengenai kajian Pragmatik, khususnya Deiksis.
2. Kajian Pustaka
2.1 Pengertian Pragmatik
Yule (2006: 2) berpendapat bahwa
pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan
para pengguna bentuk-bentuk ini. Pragmatik merupakan
kajian tentang bagaimana orang-orang tahu lebih banyak hal yang harus
dikomunikasikan daripada yang dikatakan. Hal ini berkaitan dengan makna-makna
yang sering kali bersifat implisit. Dalam berkomunikasi, penyampaian pesan
merupakan tujuan utama agar apa yang disampaikan penutur dapat diterima dan
dipahami oleh mitra tutur. Namun, dalam penyampaian pesan tersebut, seringkali
penutur menyimpan makna yang akan disampaikan sehingga mitra tutur dituntut
untuk menggali dan memahami makna yang bersifat implisit.
Para pakar
pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda.misalnya, menyebutkan empat
definisi pragmatik, yaitu:
a.
bidang
yang mengkaji makna pembicara;
b.
bidang
yang mengkaji makna menurut konteksnya;
c.
bidang
yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
d.
bidang
yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan
yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Pragmatik
didefinisikan oleh Morris (1938) sebagai suatu cabang semiotik, ilmu tentang
tanda (Givon, 1989: 2-25). Morris memandang semiosis (proses di mana sesuatu
berfungsi sebagai tanda) mempunyai empat bagian. Tanda (sign) merupakan
seperangkat tindakan sebagai tanda; penanda (designatum) adalah kepada apa
tandatersebut mengacu; interpretant adalah efek dari tanda.
Sedangkan
Thomas menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian,
pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik
dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut
pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance
interpretation). Selanjutnya, dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan
proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta
antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang
mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang
mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
(Leech)
melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan
dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan
pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Pendapat
yang agak berbeda tentang pragmatik disampaikan oleh Morris Pragmatik sebagai
suatu kajian ilmu yang muncul dari pandangan Morris tentang semiotik, yaitu
ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotik ke
dalam tiga cabang ilmu, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis
mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya, semantik
mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya, dan pragmatik mempelajari
hubungan antara lambang dengan penafsirnya.
Achmad
Sani Saidi (2010:4) menyimpulkan dari definisi para ahli bahwa pragmatik adalah
kajian tentang penggunaan atau menelaah makna bahasa yang berkaitan erat dengan
unsure konteks peserta tutur.
Pragmatik
merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini,
walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir
tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin
sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan
membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik,
yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech
(1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang
ilmu bahasa yang mengkaji segala makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang
dihubungkan dengan aspek-aspek ilmu bahasa dan aspek-aspek nonbahasa.
Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai
pada sebuah wacana.
2.2
Pengertian Deiksis
Dalam KBBI (2005:245), deiksis diartikan hal atau
fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa atau kata yang mengacu kepada persona,
waktu, dan tempat suatu tuturan. Dalam kegiatan berbahasa kata-kata atau
frasa-frasa yang mengacuh kepada beberapa hal tersebut penunjukannya
berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung kepada siapa yang menjadi
pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata seperti saya,
dia, kamu merupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan
kata-kata tersebut barulah dapat diketahui siapa, di mana, dan kapan kata-kata
itu diucapkan. Dalam kajian linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut
deiksis.
Kata deiksis berasal dari kata yunani deiktikos yang
berarti “hal yang menunjuk secara langsung”. Dalam bahasa yunani, deiksis
merupakan istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dalam
tuturan. Sedangkan istilah deiktikos yang dipergunakan oleh tata bahasa
yunani dalam pengertian sekarang kita sebut kata ganti demonstratif.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi atau
identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang
dibicarakan atau ang sedang diacuh dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan
waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau orang yang diajak bicara
(lyion, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993:43).
Dari
defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah bentuk bahasa baik
berupa kata maupun yang lainnya yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi
tertentu di luar bahasa. Dengan kata lain, sebuah bentuk bahasa bisa
dikatakan bersifat deiksis apabila acuan/rujukan/referennya dapat
berpindah-pindah atau berganti-ganti pada siapa yang menjadi si pembicara dan
bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Jadi, deiksis
merupakan kata-kata yang tidak memiliki referen yang tetap. Seperti contoh
dialog berikut ini:
Ani : saya akan ke bandung minggu depan, kalau kamu?
Ali : kalau saya santai di rumah.
Ani : saya akan ke bandung minggu depan, kalau kamu?
Ali : kalau saya santai di rumah.
Kata saya di atas sebagai kata ganti dua
orang. Kata pertama adalah kata ganti dari Ani sedangkan kata kedua sebagai
kata ganti Ali. Dari contoh di atas, tampak kata saya memiliki referen
yang berpindah-pindah sesuai dengan konteks pembicaraan serta situasi
berbahasa.
2.3
Jenis-Jenis
Deiksis
Dalam pragmatik, deiksis dibagi menjadi lima jenis meliputi:
deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis
sosial.
1) Deiksis
Persona (deiksis orang)
Deiksis persona
berkaitan dengan peran peserta yang terlibat dalam peristiwa berbahasa. Deiksis
ini biasanya digunakan sebagai kata ganti orang. Menurut pendapat Becker dan
Oka dalam Purwo (1984:21) deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi
deiksis ruang dan tempat serta waktu. Deiksis persona atau bisa juga disebut
deiksis orang memakai kata ganti diri, dinamakan demikian karena fungsinya
menggantikan diri orang. Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian kata ganti
persona menjadi tiga. Diantara kata ganti persona itu hanya kata ganti persona
pertama dan kedua yang menyatakan orang sedangkan kata ganti persona ketiga
dapat menyatakan orang maupun benda (termasuk hewan). Referen yang ditunjuk
oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan
oleh peserta tindak tutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang
disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi
pendengar maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat
terjadinya pembicaraan atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan disebut
persona ketiga.
Contoh ketiga macam deiksis persona di atas adalah
sebagai berikut:
Said : Tahun baru nanti kamu mau kemana?
Andi : Aku mau liburan ke bali. Kalau kamu?
Said : Aku juga mau ke bali
Dika : mereka semua pergi. Aku kesepian deh (guman dika dalam hati)
Dika : mereka semua pergi. Aku kesepian deh (guman dika dalam hati)
2) Deiksis
Tempat
Deiksis tempat menyatakan pemberian bentuk kepada tempat,
dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa berbahasa, yang meliputi (a) yang
dekat dengan pembicara (di sini); (b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat
dengan pendengar (di situ); (c) yang jauh dari pembicara dan pendengar (di
sana).
Di bawah
ini masing-masing contohnya:
(a) Duduklah bersamaku di sini!
(b) Letakkan piringmu di situ!
(c) Aku akan menemuinya di sana.
(a) Duduklah bersamaku di sini!
(b) Letakkan piringmu di situ!
(c) Aku akan menemuinya di sana.
3)
Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan pengungkapan jarak waktu
dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi oleh pembicara: sekarang,
kemarin, lusa, dsb.
Contoh:
(a) Nanti sore aku akan datang kerumahmu.
(b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.
Kata nanti apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.
(a) Nanti sore aku akan datang kerumahmu.
(b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.
Kata nanti apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.
4)
Deiksis Wacana
Deiksis wacana
ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan
atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora
dan katafora. Anafora ialah penunjukan
kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan
pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut
kemudian.
Contoh anafora:
Film November 1828 bisa dibuat terutama berkat kerjasama dua
orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang pertama memiliki model dan ingin
membuat film lain dari yang lain, sedangkan yang satunya sutradara yang selalu
tampil dengan film-film terkenal.
Contoh
Katafora:
Pak Suparman (56 tahun) seorang petani gurem yang bermukim
di kalurahan Karangmojo, kecamatan Cepu, berkisah demikian: “Dengan berbagai
cara saya berusaha agar dapat meningkatkan produksi gurem dengan kualitas yang
baik”.
5)
Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengikuti pemilihan kata ganti persona
yang dipergunakan dalam situasi pembicaraan (sopan santun berbahasa). Pemakaian
deiksis sosial dalam situasi pembicaran atau penggunaan tingkatan bahasa dalam
bahasa Jawa sering juga disebut dengan istilah undha usuk. Menurut Nababan (1987:43), sistem penggunaan bahasa
yang mendasari berbahasa seperti ini disebut sopan santun berbahasa atau honorifics. Setiap bahasa memiliki kompleksitas sistem sopan-santun berbahasa.
Namun, setiap bahasa tersebut hakikatnya
memiliki kesamaan dalam mengungkapkan kata ganti orang, sistem sapaan, dan
penggunaan gelar, seperti; engkau, kamu,
tuan, saudara, bapak, ibu, nyonya, Drs, Prof, dan sebagainya. Gejala
kebahasaan yang didasarkan pada sikap sosial atau kemasyarakatan atau sopan
terhadap orang disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Inilah yang membuat
orang memakai kata wafat atau meninggal untuk menggantikan kata mati. Wanita tunasusila atau WTS
untuk menggantikan kata pelacur, dan WC untuk menggantikan kata jamban, serta tunanetra untuk menggantikan kata buta.
2.4 Cerpen
Nugroho
Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita
yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi
yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen
memang sulit untuk ukuran yang umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10
sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam.
Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) yang mengatakan bahwa cerpen
adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar
antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel.
Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan
pembacaannya dalam waktu yang relatif singkat.
Cerpen termasuk karya sastra yang banyak diminati oleh
masyarakat. Karena cerpen bisa dibaca sekali duduk saja sehingga tidak membuat
orang bosan membacanya. Di dalam cerpen terdapat nilai-nilai kehidupan, seperti
nilai keagamaan, kebudayaan, sosial, moral dan sebagainya.
3.
Pembahasan
Penggunaan deiksis dalam cepen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada
Batawing” menghasilkan data sebagai berikut.
3.1
Penggunaan
Deiksis Persona
a. Deiksis
Persona Pertama Tunggal
Deiksis
persona pertama tunggal yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata aku dan ulun atau dalam bahasa
Indonesia artinya saya. Kata aku digunakan pembicara kepada lawan bicara yang
seumuran atau sebaya. Sedangkan kata ulun digunakan pada saat situasi yang
tidak formal. Hubungan antara pembicara dan lawan bicara juga akrab. Kata ulun
sering digunakan ketika lawan bicara lebih tua dari pembicara agar terkesan
sopan. Penggunaan kata ganti persona pertama tunggal dapat dilihat pada kutipan
berikut.
“Dimapang ulun
kada marista, Ning?” ujar Nurjanah. (Paragraf 2)
Berdasarkan kutipan di atas,
penggunaan persona pertama yaitu kata ulun.
Kata ulun ini merupakan kata ganti
tokoh Nurjanah. Nurjanah ialah istrinya Ipin, cucunya Nining Niah. Kata ulun digunakan karena berbicara kepada
orang yang lebih tua dan terjalin hubungan akrab. Perujukan kata ganti ulun bersifat katafora. Situasi
percakapan terjadi ketika Nining Niah menasihati Nurjanah agar tidak bersedih
lagi karena suaminya. Kemudian Nurjanah menceritakan sebab dia bersedih dengan mengingatkan
lagi kepada Nining Niah mengenai awal pertemuannya dengan suaminya.
b.
Deiksis Persona Pertama Jamak
Deiksis persona pertama jamak yang
terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata kami. Kata kami digunakan
oleh pembicara apabila orang yang dimaksudkan adalah dirinya dan orang yang
mewakilinya. Penggunaan kata ganti persona pertama jamak dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Balalu pulang, nang ngaran inya
saing bacari, kami kawa baulah rumah
saurang. Jadi, han kami kada baupang
lagi di rumah mintuha.” (Paragraf 9)
Berdasarkan kutipan di atas,
persona pertama jamak yang digunakan adalah kami.
Kata ganti kami pada kutipan tersebut
mengacu pada Nurjanah dan suaminya. Penggunaan kata ganti kami pada kutipan tersebut untuk menyatakan sepasang suami istri. Kutipan
tersebut diucapkan oleh Nurjanah. Situasi percakapan terjadi ketika Nurjanah
bercerita kepada neneknya mengenai suaminya yang rajin bekerja sehingga dia dan
suaminya mampu membuat rumah dan tidak tinggal bersama mertua lagi.
c.
Deiksis Persona Kedua Tunggal
Deiksis persona kedua tunggal yang
terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata pian, hampian, dan ikam, atau dalam bahasa Indonesia
artinya bisa engkau, kamu, dikau, dan kau. Deiksis ini digunakan untuk
mengganti tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen. Penggunaan deiksis persona
kedua tunggal dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Bawa
basabar ha, Tay ai. Bawa baistigpar. Batawakal. Mun pariannya habis jua judu ikam lawan laki ikam ti, napa ha? Tagal, ikam
ti manis dagingan, Tay ai. Ayu ha. Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung,
alam kada batawing. Malam Ahad? Ai, ni ti malam Ahad, kalu?” (Paragraf 18)
Berdasarkan kutipan di atas, penggunaan kata ganti ikam mengacu pada Nurjanah. Ia adalah
tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu cucunya Nining Niah, istrinya Ipin. Ucapan
tersebut diucapkan oleh Nining Niah ketika memberikan nasihat kepada Nurjanah
yang sedang menangis. Jadi, kata ikam
mengacu pada tokoh Nurjanah.
d. Deiksis Persona Ketiga Tunggal
Deiksis persona ketiga tunggal
yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata inya dan hidin, atau dalam bahasa Indonesia artinya bisa ia, dia,
dan beliau. Penggunaan deiksis persona ketiga tunggal dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Suah jua pang inya basuara: ‘Muyak,’ ujar, ‘Anak, lalakian katia lalakian.’
Tagal, marganya sakalinya kada naitu ti haja. Inya bagandakan lawan kawan sagawian. Pandayangan babanaran!”
(Paragraf 11)
Berdasarkan kutipan di atas, kata ganti inya mengarah pada tokoh Ipin atau
suaminya Nurjanah. Kata ganti inya digunakan
pengarang untuk menjelaskan kejadian yang dialami Ipin dalam cerita. Perujukan
kata ganti inya pada kutipan tersebut
bersifat anafora. Artinya penggunaan kata inya
tersebut mengacu kepada Ipin yang sudah di jelaskan di paragraf sebelumnya.
3.2
Penggunaan
Deiksis Tempat
Deiksis tempat
dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata di sia, atau dalam
bahasa Indonesia artinya di sini. Penggunaan deiksis tempat dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Imbah
dibujuki hampian ti, hanyar ulun hakun, kalu? Han, Kada saapa, kami bakawinan.
Balalu, nang ngaran Ka Ipin ti bagawi di Banjar, ulun maumpatinya. Tatinggal
hampian saurangan di sia.” (Paragraf
7)
Berdasarkan kutipan di atas, kata di sia menyatakan pemberian bentuk kepada tempat yang dilakukan
pembicara kepada lawan bicaranya yang dekat. Situasi percakapan terjadi ketika
Nurjanah bercerita mengenai kehidupannya dengan suaminya kepada neneknya. Artinya,
menunjukkan bahwa Nurjanah sedang berdekatan dengan neneknya. Jadi, kata ganti di sia mengacu pada tempat tinggal atau
rumah neneknya.
3.3
Penggunaan
Deiksis Waktu
Deiksis waktu
yang terdapat dalam cerpen “Kambang
Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”,
yaitu malam Ahad kaina dan bada Jumahat. Penggunaan deiksis waktu dapat
dilihat pada kutipan berikut.
“…. Lamunnya hampian magun haja sayang anak, tunti
kami ka rumah Nining di banua, malam Ahad kaina.” (Paragraf 14)
Dari kutipan di atas, malam
ahad kaina merupakan deiksis waktu yang memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari.
3.4
Penggunaan
Deiksis Wacana
Ada dua deiksis wacana
dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing”, yaitu anafora dan
katafora.
Anafora
Penggunaan deiksis wacana yang
anafora dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Imbah
mangibahi nyamuk pada ambutut buyut nang nyanyak tajangak, Nining Niah bangsul ka tawing halat. Diandak hidin wadah panginangan lawan pakucuran ka higa awak, bahindapang
ka tawing, hadap ka Nurjanah.” (Paragraf 1)
Pada kutipan di atas disebut anafora karena antesedennya
berada setelah acuan. Antesedennya adalah hidin, sedangkan acuannya adalah
Nining Niah. Artinya kata hidin
mengacu kepada Nining Niah yang telah
disebutkan sebelumnya.
Katafora
Penggunaan deiksis wacana yang
katafora dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Inya jua nang bamula handak lawan di
ulun! Sangka ulun ti, inya handak lawan Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang
ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal, nang ngaran ulun ti urang kadada, mati
Abah mati Uma, gawian maambil upah manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir
lawan di inya. Ujar ulun, ‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai.” (Paragraf 3)
Pada kutipan di atas
disebut katafora karena acuannya didahului anteseden. Acuannya adalah Ipin,
sedangkan antesedennya adalah inya. Artinya, kata inya tersebut mengacu kepada
Ipin.
3.5
Penggunaan
Deiksis Sosial
Deiksis sosial yang tedapat
dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing” dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Inya jua nang bamula handak lawan di ulun!
Sangka ulun ti, inya handak lawan Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang
ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal, nang ngaran ulun ti urang kadada, mati
Abah mati Uma, gawian maambil upah manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir lawan
di inya. Ujar ulun, ‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai. Pian ti urang
bapangkat, anak urang harat. Ujar paribasa: Raja lawan Putri, Pantul lawan
Amban. Hati-hati mamilih, kalu ti tapilih bangkung’ (Paragraf 3)
Dari kutipan di
atas, penggunaan kata ulun termasuk
deiksis sosial. Penggunaan kata ulun banyak digunakan oleh Nurjanah ketika
berbicara dengan neneknya. Kata ulun tersebut menjukkan kesopanan, karena orang
Banjar menggunakan kata ulun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
4.
Penutup
4.1
Simpulan
Dari uraian pembahasan di atas, pada cerpen berjudul
“Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”
karya Y.S. Agus Suseno terdapat beberapa deiksis,
yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan
deiksis sosial. Penggunaan deiksis yang paling sering ditemukan
adalah penggunaan deiksis persona berbentuk kata “ulun” dan “inya”.
4.2 Saran
Penulis menyarankan
kepada para pembaca agar lebih teliti dalam mengenali jenis-jenis deiksis dan
penggunaannya. Untuk peneliti selanjutnya alangkah lebih baik jika meneliti deiksis
bahasa daerah masing-masing supaya lebih mencintai bahasa daerah dan bisa
mengembangkan penelitian ini dengan baik. Penulis juga berharap penulisan dan
penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi.
Daftar Rujukan
Purwo, Bambang Kasnawati. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tim Penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yule, George. 1998. Pragmatik. Diterjemahkan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Unlam.
Lampiran
Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada
Saikung, Alam Kada Batawing
Kisah Handap Y.S. Agus
Suseno
Imbah mangibahi nyamuk pada ambutut buyut nang nyanyak tajangak, Nining Niah
bangsul ka tawing halat. Diandak hidin wadah panginangan lawan pakucuran ka
higa awak, bahindapang ka tawing, hadap ka Nurjanah. “Cah, sarana diristaakan
bahimat-himat, Tay ai,” ujar hidin. “Ayu ha, bawa batawakal. Basarah diri haja.
Mudahan hati laki ikam tabuka.”
“Dimapang ulun kada marista, Ning?” ujar Nurjanah. “Bahari, wayah bamula rusak
lawan di ulun, bilang kada sakira ti pang inya. Ingat banar ulun, wayah
panambaian kami batamuan. Wayah Haji Ijun bapangantinan, mengawinakan Diyang.
Ulun, Atun wan kakawalan nang lain umpat bahandip. Talu malam karasmin bilang
liwar raminya bamamanda, bajapin wan badangdutan haja kalu?”
“Inya jua nang bamula handak lawan di ulun! Sangka ulun ti, inya handak lawan
Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal,
nang ngaran ulun ti urang kadada, mati Abah mati Uma, gawian maambil upah
manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir lawan di inya. Ujar ulun,
‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai. Pian ti urang bapangkat, anak
urang harat. Ujar paribasa: Raja lawan Putri, Pantul lawan Amban. Hati-hati
mamilih, kalu ti tapilih bangkung’
“Tagal, hidin bilang liwar karas. Hampian ingat kalu, Ning? Bangsa talu bulan,
saku, ada, nang ulun baliung mun batamuan inya. Tagal, inya bakurinah
mahadangi, imbah ulun tuntung maambil upah manurih gatah Pambakal Ancah. Inya
mahadangi di batang banyu.
“Rahat inya maajaki. Manggayai. Mambawai ulun bakunjangan, atawa ka pasaran.
Tagal, ulun indah. Supan. Ayungannya, inya baulah surat. Surat ti, diunjuknya
ka Atun. Atun manjulung ka ulun. Ujarnya, di surat: Nurjanah, ‘Nur’ ,
artinya ‘cahaya’. ‘Janah’, artinya ‘surga’. Alis, nangkaya bulan sahiris. Mata,
mancar, mancararat, mancarunung. Mambintang siang, nangkaya amas hanyar
dituang. Imbah musim katam, kami badatang.
“Hampian ingat, kalu, Ning, nang ngaran ulun kababang? Napang, inya banaran
badatang! Hampian bahimat mambujuki, mambisai, malamahi. Mancari'i, wayah ulun
indah bulik ka rumah, bamalam di rumah Julak Sanah di kampung subalah. Ujar
hampian, ‘Ayu ha, Tay ai, dihakuni ha. Lamunnya Nining habis umur kaina,
dimapang ikam? Siapang manggaduh? Lamunnya dasar judu ti, kada pacangan ka
lain, taka ikam jua.’
“Imbah dibujuki hampian ti, hanyar ulun hakun, kalu? Han, Kada saapa, kami
bakawinan. Balalu, nang ngaran Ka Ipin ti bagawi di Banjar, ulun maumpatinya.
Tatinggal hampian saurangan di sia.
“Balalu, ulun baanak Ambayau. Wayah tu ti, Ka Ipin apik haja lakunnya. Biar
balang kambingan, inya ingat haja di waktu. Bahanu sumbahyang haja. Baiknya
pulang, inya kada suah balalakun. Bakakinuman, kada biasa. Batukar buntut,
maginnya. Bujur harus haja, tih.
“Balalu pulang, nang ngaran inya saing bacari, kami kawa baulah rumah saurang.
Jadi, han kami kada baupang lagi di rumah mintuha.
“Tagal, tang dimapakah ha imbah ulun baanak Muridi, Idup wan Utuh, Ka Ipin
pinda ubah. Bulik ka rumah, talandung pada nang rajin. Ada nang kada bulik
lalu. Imbah talu ari, hanyar bangsul. ‘Kaka aur. Banyak gawian.’ ujar. Ulun ti,
napa ha. Baranai ham. Tagal, nang ulun sangkal, inya kada rajin lagi mangilik
anak.
“Suah jua pang inya basuara: ‘Muyak,’ ujar, ‘Anak, lalakian katia lalakian.’
Tagal, marganya sakalinya kada naitu ti haja. Inya bagandakan lawan kawan
sagawian. Pandayangan babanaran!
“Imbah ulun tahu bibiniannya ti, napang ada, pada ulun rungkup ha. Inya papar
kuciak. Sakanturan, urang galu!
“Di rumah, malamnya Ka Ipin basisigan. Minta maap. Basungkam. Nang ngaran laki,
ulun maapi ai. Inya bajanji kada lagi. Tagal, nang ngaran lalakian: muha
basungkam, buntut mahambat, kalu ah? Napang, kada saapa, bangat pulang! Dasar
liur baungan! Masih haja lakunnya inya bagandakan lawan binuhung karing ti!
“Napang ada, pada ulun tinggalakan tajun ha saparanakan. Ulun kamari, tulak
bacuntan. Wayah inya turun ka gawian. Tagal, ulun tinggali pang surat. Jar
ulun: Ka Ipin, kami mudik ka banua. Tasarah hampian haja lagi. Dalas jadi
balu, ulun kada hakun dimadu. Lamunnya hampian magun haja sayang anak, tunti
kami ka rumah Nining di banua, malam Ahad kaina. Bapandir, dimapa nang baiknya.
Mun hampian kada hakun, punahakan ulun.”
Sambil manginang, Nining Niah unggut-unggut mandangarakan. Mata hidin tapajam
tabuncalak, nahap manjanaki Nurjanah nang kasasahangan.
“Tuhuk haja pang hudah ulun baihtiar, Ning ai. Bilang parak saban malam ulun
batahajut, baistiharah. Sudah jua inya ulun pintaakan banyu ka urang alim.
Tagal, tatap haja. Hudah ulun umpani bakas makanan itik, sakira inya babulik.
Tagal, kahada ubah jua. Taharat anggit urang, saku ah?”
“Sabaluman ka sia, inya ulun kaduakan lawan pimpinannya. Di gawiannya ti, urang
kada dibariakan babini atawa balaki labih pada saikung. Lamunnya Ka Ipin sawat
takawin jua lawan pandayangan tuti, kaduanya pacangan diampihi bagawi. Cah,
maraha! Biar jara!”
“Ubui, ubui, ubuiii,” Nining Niah bakitar, mamusut banyu mata Nurjanah nang
titik ka lampit. “Bawa basabar ha, Tay ai. Bawa baistigpar. Batawakal. Mun
pariannya habis jua judu ikam lawan laki ikam ti, napa ha? Tagal, ikam ti manis
dagingan, Tay ai. Ayu ha. Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung, alam kada
batawing. Malam Ahad? Ai, ni ti malam Ahad, kalu?”
Babaya Nining Niah tuntung bapandir, lawang bunyi digandah urang. Nining Niah
wan Nurjanah cagat puhun gulu.
“Assalamualaikuuum...”
“Waalaikumsalaaam...” Takajut Nining Niah manyahuti. Tangan hidin parak
tahayut lampu samprung di lantai. Kasadakan. Tahambur sapah di muntung hidin.
Nurjanah ampih basisigan, hancap mamusut banyu mata lawan tapih ayunan.
“Ayu, Tay, lakasi dibukai. Siapang, hi? Ajin... Aku nia tuli biruangan. Suara
laki ikam, ah, atawa urang subalah?”
Nurjanah kada tahu, suara siapa tu. Mun suara lakinya, inya pinandu.
Sambil mamusut banyu mata, inya bajalan mambuka sasunduk lawang.
Di palataran, ada urang. Maunjuk surat. “Titipan kawitan Ipin di Banjar...,”
ujar, balalu turun. Pindanya supir taksi Hulu Sungai nang bagana di hilir. Di
pinggir kartak, ada taksi L300.
Imbah maambil surat, Nurjanah naik ka rumah. Ka padu. Baparak ka lampu. Mambuka
surat. Mambaca. “... Bada Jumahat, Abah Ambayau handak mandatangi ikam
kamari. Bakandaraan sauranganan. Di Pal tujuhblas, diranjah trak. Salamatan
haja di rumah sakit, tagal tagantar. Ngaran ikam haja nang dikuya...”
Nurjanah asa sasak hinak. Raum panjanak. Duduk tadangkak.
TAMAT
Sumber: https://www.facebook.com/notes/ys-agus-suseno/kambang-kada-sakaki-kumbang-kada-saikung-alam-kada-batawing/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar