Jumat, 12 Juni 2015

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM CERPEN “KAMBANG KADA SAKAKI, KUMBANG KADA SAIKUNG, ALAM KADA BATAWING”

 
PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM CERPEN
KAMBANG KADA SAKAKI, KUMBANG KADA SAIKUNG, ALAM KADA BATAWING


Dosen
Prof. Dr. Jumadi, M.Pd.


 


Oleh
Noor Janah
NIM A1B112006



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015





1.   Latar Belakang
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibat studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.  Pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa sesungguhnya. Pragmatik mencakup bahasan mengenai deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan.
Di sini peneliti akan membahas mengenai penggunaan deiksis. Penggunaan deiksis perlu dibahas karena banyaknya makna yang terkandung dalam deiksis tersebut yang menyebabkan terkadang orang kesulitan memaknai suatu tuturan.
Deiksis adalah suatu acuan atau referen yang tidak tetap, seperti kata saya, sini, sekarang. Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu kepada A atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur, kata sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang berbicara.
Deiksis tebagi lagi menjadi beberapa, yaitu: deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Dalam bentuk tulisan deiksis bisa muncul pada novel, cerpen, dan bentuk wacana lainnya. Peneliti di sini memilih cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” sebagai objek penelitian karena cerita tersebut berbahasa Banjar dan di sini peneliti membahas deiksis dalam bahasa Banjar dengan tujuan melestarikan bahasa daerah.
Dari latar belakang di atas dapat ditentukan rumusan masalah, yaitu bagaimanakah penggunaan deiksis dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan deiksis dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”.
Adapun manfaat dalam penulisan ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan penunjang kegiatan perkuliahan mengenai kajian Pragmatik, khususnya Deiksis.

                                                                                                                
2.   Kajian Pustaka  
2.1 Pengertian Pragmatik
Yule (2006: 2) berpendapat bahwa pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan para pengguna bentuk-bentuk ini. Pragmatik merupakan kajian tentang bagaimana orang-orang tahu lebih banyak hal yang harus dikomunikasikan daripada yang dikatakan. Hal ini berkaitan dengan makna-makna yang sering kali bersifat implisit. Dalam berkomunikasi, penyampaian pesan merupakan tujuan utama agar apa yang disampaikan penutur dapat diterima dan dipahami oleh mitra tutur. Namun, dalam penyampaian pesan tersebut, seringkali penutur menyimpan makna yang akan disampaikan sehingga mitra tutur dituntut untuk menggali dan memahami makna yang bersifat implisit.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda.misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu:
a.      bidang yang mengkaji makna pembicara;
b.      bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
c.      bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
d.      bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Pragmatik didefinisikan oleh Morris (1938) sebagai suatu cabang semiotik, ilmu tentang tanda (Givon, 1989: 2-25). Morris memandang semiosis (proses di mana sesuatu berfungsi sebagai tanda) mempunyai empat bagian. Tanda (sign) merupakan seperangkat tindakan sebagai tanda; penanda (designatum) adalah kepada apa tandatersebut mengacu; interpretant adalah efek dari tanda.
Sedangkan Thomas menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya, dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
(Leech) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Pendapat yang agak berbeda tentang pragmatik disampaikan oleh Morris Pragmatik sebagai suatu kajian ilmu yang muncul dari pandangan Morris tentang semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotik ke dalam tiga cabang ilmu, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya, semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya, dan pragmatik mempelajari hubungan antara lambang dengan penafsirnya.
Achmad Sani Saidi (2010:4) menyimpulkan dari definisi para ahli bahwa pragmatik adalah kajian tentang penggunaan atau menelaah makna bahasa yang berkaitan erat dengan unsure konteks peserta tutur.
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan aspek-aspek ilmu bahasa dan aspek-aspek nonbahasa. Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.

2.2     Pengertian Deiksis
Dalam KBBI (2005:245), deiksis diartikan hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa atau kata yang mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan. Dalam kegiatan berbahasa kata-kata atau frasa-frasa yang mengacuh kepada beberapa hal tersebut penunjukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung kepada siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata seperti saya, dia, kamu merupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan kata-kata tersebut barulah dapat diketahui siapa, di mana, dan kapan kata-kata itu diucapkan. Dalam kajian linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis.
Kata deiksis berasal dari kata yunani deiktikos yang berarti “hal yang menunjuk secara langsung”. Dalam bahasa yunani, deiksis merupakan istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dalam tuturan. Sedangkan istilah deiktikos  yang dipergunakan oleh tata bahasa yunani dalam pengertian sekarang kita sebut kata ganti demonstratif.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi atau identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau ang sedang diacuh dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau orang yang diajak bicara (lyion, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993:43).
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah bentuk bahasa baik berupa kata maupun yang lainnya yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa. Dengan kata lain, sebuah bentuk bahasa bisa  dikatakan bersifat deiksis apabila acuan/rujukan/referennya dapat berpindah-pindah atau berganti-ganti pada siapa yang menjadi si pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Jadi, deiksis merupakan kata-kata yang tidak memiliki referen yang tetap. Seperti contoh dialog berikut ini:
Ani : saya akan ke bandung minggu depan, kalau kamu?
Ali : kalau saya santai di rumah.
Kata saya  di atas sebagai kata  ganti dua orang. Kata pertama adalah kata ganti dari Ani sedangkan kata kedua sebagai kata ganti Ali. Dari contoh di atas, tampak kata saya  memiliki referen yang berpindah-pindah sesuai dengan konteks pembicaraan serta situasi berbahasa.

2.3    Jenis-Jenis Deiksis
Dalam pragmatik, deiksis dibagi menjadi lima jenis meliputi: deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.
1)     Deiksis Persona (deiksis orang)
Deiksis persona berkaitan dengan peran peserta yang terlibat dalam peristiwa berbahasa. Deiksis ini biasanya digunakan sebagai kata ganti orang. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984:21) deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Deiksis persona atau bisa juga disebut deiksis orang memakai kata ganti diri, dinamakan demikian karena fungsinya menggantikan diri orang. Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian kata ganti persona menjadi tiga. Diantara kata ganti persona itu hanya kata ganti persona pertama dan kedua yang menyatakan orang sedangkan kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang maupun benda (termasuk hewan). Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak tutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi pendengar maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan disebut persona ketiga.
Contoh ketiga macam deiksis persona di atas adalah sebagai berikut:
Said : Tahun baru nanti kamu mau kemana?
Andi : Aku mau liburan ke bali. Kalau kamu?
Said : Aku juga mau ke bali
Dika : mereka semua pergi. Aku kesepian deh (guman dika dalam hati) 


2)     Deiksis Tempat
Deiksis tempat menyatakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa berbahasa, yang meliputi (a) yang dekat dengan pembicara (di sini); (b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat dengan pendengar (di situ); (c) yang jauh dari pembicara dan pendengar (di sana).
Di bawah ini masing-masing contohnya:
(a) Duduklah bersamaku di sini!
(b) Letakkan piringmu di situ!
(c) Aku akan menemuinya di sana.
3)     Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi oleh pembicara: sekarang, kemarin, lusa, dsb.
Contoh:
(a) Nanti sore aku akan datang kerumahmu.
(b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.
          Kata nanti apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.
4)     Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora.  Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian.
Contoh anafora:
Film November 1828 bisa dibuat terutama berkat kerjasama dua orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang pertama memiliki model dan ingin membuat film lain dari yang lain, sedangkan yang satunya sutradara yang selalu tampil dengan film-film terkenal.

Contoh Katafora:
Pak Suparman (56 tahun) seorang petani gurem yang bermukim di kalurahan Karangmojo, kecamatan Cepu, berkisah demikian: “Dengan berbagai cara saya berusaha agar dapat meningkatkan produksi gurem dengan kualitas yang baik”.
5)     Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengikuti pemilihan kata ganti persona yang dipergunakan dalam situasi pembicaraan (sopan santun berbahasa). Pemakaian deiksis sosial dalam situasi pembicaran atau penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa sering juga disebut dengan istilah undha usuk. Menurut Nababan (1987:43), sistem penggunaan bahasa yang mendasari berbahasa seperti ini disebut sopan santun berbahasa atau honorifics. Setiap bahasa memiliki  kompleksitas sistem sopan-santun berbahasa. Namun, setiap bahasa tersebut  hakikatnya memiliki kesamaan dalam mengungkapkan kata ganti orang, sistem sapaan, dan penggunaan gelar, seperti; engkau, kamu, tuan, saudara, bapak, ibu, nyonya, Drs, Prof, dan sebagainya. Gejala kebahasaan yang didasarkan pada sikap sosial atau kemasyarakatan atau sopan terhadap orang disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Inilah yang membuat orang memakai kata wafat atau meninggal untuk menggantikan kata mati. Wanita tunasusila atau WTS untuk menggantikan kata pelacur, dan WC untuk menggantikan kata jamban, serta tunanetra untuk menggantikan kata buta.

2.4    Cerpen
Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen memang sulit untuk ukuran yang umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10 sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam. Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relatif singkat.
Cerpen termasuk karya sastra yang banyak diminati oleh masyarakat. Karena cerpen bisa dibaca sekali duduk saja sehingga tidak membuat orang bosan membacanya. Di dalam cerpen terdapat nilai-nilai kehidupan, seperti nilai keagamaan, kebudayaan, sosial, moral dan sebagainya.

3.   Pembahasan
Penggunaan deiksis dalam cepen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” menghasilkan data sebagai berikut.
3.1   Penggunaan Deiksis Persona
a.    Deiksis Persona Pertama Tunggal
Deiksis persona pertama tunggal yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”  berupa kata aku dan ulun atau dalam bahasa Indonesia artinya saya. Kata aku digunakan pembicara kepada lawan bicara yang seumuran atau sebaya. Sedangkan kata ulun digunakan pada saat situasi yang tidak formal. Hubungan antara pembicara dan lawan bicara juga akrab. Kata ulun sering digunakan ketika lawan bicara lebih tua dari pembicara agar terkesan sopan. Penggunaan kata ganti persona pertama tunggal dapat dilihat pada kutipan berikut.
                  
“Dimapang ulun kada marista, Ning?” ujar Nurjanah. (Paragraf 2)

Berdasarkan kutipan di atas, penggunaan persona pertama yaitu kata ulun. Kata ulun ini merupakan kata ganti tokoh Nurjanah. Nurjanah ialah istrinya Ipin, cucunya Nining Niah. Kata ulun digunakan karena berbicara kepada orang yang lebih tua dan terjalin hubungan akrab. Perujukan kata ganti ulun bersifat katafora. Situasi percakapan terjadi ketika Nining Niah menasihati Nurjanah agar tidak bersedih lagi karena suaminya. Kemudian Nurjanah menceritakan sebab dia bersedih dengan mengingatkan lagi kepada Nining Niah mengenai awal pertemuannya dengan suaminya.


b.   Deiksis Persona Pertama Jamak
Deiksis persona pertama jamak yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata kami. Kata kami digunakan oleh pembicara apabila orang yang dimaksudkan adalah dirinya dan orang yang mewakilinya. Penggunaan kata ganti persona pertama jamak dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Balalu pulang, nang ngaran inya saing bacari, kami kawa baulah rumah saurang. Jadi, han kami kada baupang lagi di rumah mintuha.” (Paragraf 9)

Berdasarkan kutipan di atas, persona pertama jamak yang digunakan adalah kami. Kata ganti kami pada kutipan tersebut mengacu pada Nurjanah dan suaminya. Penggunaan kata ganti kami pada kutipan tersebut untuk menyatakan sepasang suami istri. Kutipan tersebut diucapkan oleh Nurjanah. Situasi percakapan terjadi ketika Nurjanah bercerita kepada neneknya mengenai suaminya yang rajin bekerja sehingga dia dan suaminya mampu membuat rumah dan tidak tinggal bersama mertua lagi.

c.    Deiksis Persona Kedua Tunggal
Deiksis persona kedua tunggal yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” berupa kata pian, hampian, dan ikam, atau dalam bahasa Indonesia artinya bisa engkau, kamu, dikau, dan kau. Deiksis ini digunakan untuk mengganti tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen. Penggunaan deiksis persona kedua tunggal dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Bawa basabar ha, Tay ai. Bawa baistigpar. Batawakal. Mun pariannya habis jua judu ikam lawan laki ikam ti, napa ha? Tagal, ikam ti manis dagingan, Tay ai. Ayu ha. Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung, alam kada batawing. Malam Ahad? Ai, ni ti malam Ahad, kalu?” (Paragraf 18)


Berdasarkan kutipan di atas, penggunaan kata ganti ikam mengacu pada Nurjanah. Ia adalah tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu cucunya Nining Niah, istrinya Ipin. Ucapan tersebut diucapkan oleh Nining Niah ketika memberikan nasihat kepada Nurjanah yang sedang menangis. Jadi, kata ikam mengacu pada tokoh Nurjanah.

d.   Deiksis Persona Ketiga Tunggal
Deiksis persona ketiga tunggal yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”  berupa kata inya dan hidin, atau dalam bahasa Indonesia artinya bisa ia, dia, dan beliau. Penggunaan deiksis persona ketiga tunggal dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Suah jua pang inya basuara: ‘Muyak,’ ujar, ‘Anak, lalakian katia lalakian.’ Tagal, marganya sakalinya kada naitu ti haja. Inya bagandakan lawan kawan sagawian. Pandayangan babanaran!” (Paragraf 11)

Berdasarkan kutipan di atas, kata ganti inya mengarah pada tokoh Ipin atau suaminya Nurjanah. Kata ganti inya digunakan pengarang untuk menjelaskan kejadian yang dialami Ipin dalam cerita. Perujukan kata ganti inya pada kutipan tersebut bersifat anafora. Artinya penggunaan kata inya tersebut mengacu kepada Ipin yang sudah di jelaskan di paragraf sebelumnya.  

3.2   Penggunaan Deiksis Tempat
Deiksis tempat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”  berupa kata di sia,  atau dalam bahasa Indonesia artinya di sini. Penggunaan deiksis tempat dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Imbah dibujuki hampian ti, hanyar ulun hakun, kalu? Han, Kada saapa, kami bakawinan. Balalu, nang ngaran Ka Ipin ti bagawi di Banjar, ulun maumpatinya. Tatinggal hampian saurangan di sia.” (Paragraf 7)

Berdasarkan kutipan di atas, kata di sia menyatakan pemberian bentuk kepada tempat yang dilakukan pembicara kepada lawan bicaranya yang dekat. Situasi percakapan terjadi ketika Nurjanah bercerita mengenai kehidupannya dengan suaminya kepada neneknya. Artinya, menunjukkan bahwa Nurjanah sedang berdekatan dengan neneknya. Jadi, kata ganti di sia mengacu pada tempat tinggal atau rumah neneknya.
3.3   Penggunaan Deiksis Waktu
Deiksis waktu yang terdapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”, yaitu malam Ahad kaina dan bada Jumahat. Penggunaan deiksis waktu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“…. Lamunnya hampian magun haja sayang anak, tunti kami ka rumah Nining di banua, malam Ahad kaina.” (Paragraf 14)
                    
Dari kutipan di atas, malam ahad kaina merupakan deiksis waktu yang memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari.

3.4   Penggunaan Deiksis Wacana
Ada dua deiksis wacana dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing”, yaitu anafora dan katafora.
Anafora
Penggunaan deiksis wacana yang anafora dapat dilihat pada kutipan berikut.
                                   
“Imbah mangibahi nyamuk pada ambutut buyut nang nyanyak tajangak, Nining Niah bangsul ka tawing halat. Diandak hidin wadah panginangan lawan pakucuran ka higa awak, bahindapang ka tawing, hadap ka Nurjanah.” (Paragraf 1)


Pada kutipan di atas disebut anafora karena antesedennya berada setelah acuan. Antesedennya adalah hidin, sedangkan acuannya adalah Nining Niah. Artinya kata hidin mengacu kepada Nining Niah yang telah disebutkan sebelumnya.

Katafora
Penggunaan deiksis wacana yang katafora dapat dilihat pada kutipan berikut.

Inya jua nang bamula handak lawan di ulun! Sangka ulun ti, inya handak lawan Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal, nang ngaran ulun ti urang kadada, mati Abah mati Uma, gawian maambil upah manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir lawan di inya. Ujar ulun, ‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai.” (Paragraf 3)
Pada kutipan di atas disebut katafora karena acuannya didahului anteseden. Acuannya adalah Ipin, sedangkan antesedennya adalah inya. Artinya, kata inya tersebut mengacu kepada Ipin.

3.5   Penggunaan Deiksis Sosial
Deiksis sosial yang tedapat dalam cerpen “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Inya jua nang bamula handak lawan di ulun! Sangka ulun ti, inya handak lawan Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal, nang ngaran ulun ti urang kadada, mati Abah mati Uma, gawian maambil upah manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir lawan di inya. Ujar ulun, ‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai. Pian ti urang bapangkat, anak urang harat. Ujar paribasa: Raja lawan Putri, Pantul lawan Amban. Hati-hati mamilih, kalu ti tapilih bangkung’ (Paragraf 3)

Dari kutipan di atas, penggunaan kata ulun termasuk deiksis sosial. Penggunaan kata ulun banyak digunakan oleh Nurjanah ketika berbicara dengan neneknya. Kata ulun tersebut menjukkan kesopanan, karena orang Banjar menggunakan kata ulun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

4.   Penutup
4.1   Simpulan
Dari uraian pembahasan di atas, pada cerpen berjudul “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” karya Y.S. Agus Suseno terdapat beberapa deiksis, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial. Penggunaan deiksis yang paling sering ditemukan adalah penggunaan deiksis persona berbentuk kata “ulun” dan “inya”.
4.2   Saran
Penulis menyarankan kepada para pembaca agar lebih teliti dalam mengenali jenis-jenis deiksis dan penggunaannya. Untuk peneliti selanjutnya alangkah lebih baik jika meneliti deiksis bahasa daerah masing-masing supaya lebih mencintai bahasa daerah dan bisa mengembangkan penelitian ini dengan baik. Penulis juga berharap penulisan dan penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi.


Daftar Rujukan


Purwo, Bambang Kasnawati. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Yule, George. 1998. Pragmatik. Diterjemahkan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Unlam.






Lampiran

            Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing
Kisah Handap Y.S. Agus Suseno

            Imbah mangibahi nyamuk pada ambutut buyut nang nyanyak tajangak, Nining Niah bangsul ka tawing halat. Diandak hidin wadah panginangan lawan pakucuran ka higa awak, bahindapang ka tawing, hadap ka Nurjanah. “Cah, sarana diristaakan bahimat-himat, Tay ai,” ujar hidin. “Ayu ha, bawa batawakal. Basarah diri haja. Mudahan hati laki ikam tabuka.”
            “Dimapang ulun kada marista, Ning?” ujar Nurjanah. “Bahari, wayah bamula rusak lawan di ulun, bilang kada sakira ti pang inya. Ingat banar ulun, wayah panambaian kami batamuan. Wayah Haji Ijun bapangantinan, mengawinakan Diyang. Ulun, Atun wan kakawalan nang lain umpat bahandip. Talu malam karasmin bilang liwar raminya bamamanda, bajapin wan badangdutan haja kalu?”
            “Inya jua nang bamula handak lawan di ulun! Sangka ulun ti, inya handak lawan Atun. Sakalinya kada. Ulun saurang nang ngaran bibinian, napa pang lagi? Tagal, nang ngaran ulun ti urang kadada, mati Abah mati Uma, gawian maambil upah manurih gatah wara, sawat jua pang tapandir lawan di inya. Ujar ulun, ‘Pikirakan ha dahulu tuhuk-tuhuk, Ka Ipin ai. Pian ti urang bapangkat, anak urang harat. Ujar paribasa: Raja lawan Putri, Pantul lawan Amban. Hati-hati mamilih, kalu ti tapilih bangkung’
            “Tagal, hidin bilang liwar karas. Hampian ingat kalu, Ning? Bangsa talu bulan, saku, ada, nang ulun baliung mun batamuan inya. Tagal, inya bakurinah mahadangi, imbah ulun tuntung maambil upah manurih gatah Pambakal Ancah. Inya mahadangi di batang banyu.
            “Rahat inya maajaki. Manggayai. Mambawai ulun bakunjangan, atawa ka pasaran. Tagal, ulun indah. Supan. Ayungannya, inya baulah surat. Surat ti, diunjuknya ka Atun. Atun manjulung ka ulun. Ujarnya, di surat: Nurjanah, ‘Nur’ , artinya ‘cahaya’. ‘Janah’, artinya ‘surga’. Alis, nangkaya bulan sahiris. Mata, mancar, mancararat, mancarunung. Mambintang siang, nangkaya amas hanyar dituang. Imbah musim katam, kami badatang.
            “Hampian ingat, kalu, Ning, nang ngaran ulun kababang? Napang, inya banaran badatang! Hampian bahimat mambujuki, mambisai, malamahi. Mancari'i, wayah ulun indah bulik ka rumah, bamalam di rumah Julak Sanah di kampung subalah. Ujar hampian, ‘Ayu ha, Tay ai, dihakuni ha. Lamunnya Nining habis umur kaina, dimapang ikam? Siapang manggaduh? Lamunnya dasar judu ti, kada pacangan ka lain, taka ikam jua.’
            “Imbah dibujuki hampian ti, hanyar ulun hakun, kalu? Han, Kada saapa, kami bakawinan. Balalu, nang ngaran Ka Ipin ti bagawi di Banjar, ulun maumpatinya. Tatinggal hampian saurangan di sia.
            “Balalu, ulun baanak Ambayau. Wayah tu ti, Ka Ipin apik haja lakunnya. Biar balang kambingan, inya ingat haja di waktu. Bahanu sumbahyang haja. Baiknya pulang, inya kada suah balalakun. Bakakinuman, kada biasa. Batukar buntut, maginnya. Bujur harus haja, tih.
            “Balalu pulang, nang ngaran inya saing bacari, kami kawa baulah rumah saurang. Jadi, han kami kada baupang lagi di rumah mintuha.
            “Tagal, tang dimapakah ha imbah ulun baanak Muridi, Idup wan Utuh, Ka Ipin pinda ubah. Bulik ka rumah, talandung pada nang rajin. Ada nang kada bulik lalu. Imbah talu ari, hanyar bangsul. ‘Kaka aur. Banyak gawian.’ ujar. Ulun ti, napa ha. Baranai ham. Tagal, nang ulun sangkal, inya kada rajin lagi mangilik anak.
            “Suah jua pang inya basuara: ‘Muyak,’ ujar, ‘Anak, lalakian katia lalakian.’ Tagal, marganya sakalinya kada naitu ti haja. Inya bagandakan lawan kawan sagawian. Pandayangan babanaran!
            “Imbah ulun tahu bibiniannya ti, napang ada, pada ulun rungkup ha. Inya papar kuciak. Sakanturan, urang galu!
            “Di rumah, malamnya Ka Ipin basisigan. Minta maap. Basungkam. Nang ngaran laki, ulun maapi ai. Inya bajanji kada lagi. Tagal, nang ngaran lalakian: muha basungkam, buntut mahambat, kalu ah? Napang, kada saapa, bangat pulang! Dasar liur baungan! Masih haja lakunnya inya bagandakan lawan binuhung karing ti!
            “Napang ada, pada ulun tinggalakan tajun ha saparanakan. Ulun kamari, tulak bacuntan. Wayah inya turun ka gawian. Tagal, ulun tinggali pang surat. Jar ulun: Ka Ipin, kami mudik ka banua. Tasarah hampian haja lagi. Dalas jadi balu, ulun kada hakun dimadu. Lamunnya hampian magun haja sayang anak, tunti kami ka rumah Nining di banua, malam Ahad kaina. Bapandir, dimapa nang baiknya. Mun hampian kada hakun, punahakan  ulun.
            Sambil manginang, Nining Niah unggut-unggut mandangarakan. Mata hidin tapajam tabuncalak, nahap manjanaki Nurjanah nang kasasahangan.
            “Tuhuk haja pang hudah ulun baihtiar, Ning ai. Bilang parak saban malam ulun batahajut, baistiharah. Sudah jua inya ulun pintaakan banyu ka urang alim. Tagal, tatap haja. Hudah ulun umpani bakas makanan itik, sakira inya babulik. Tagal, kahada ubah jua. Taharat anggit urang, saku ah?”
            “Sabaluman ka sia, inya ulun kaduakan lawan pimpinannya. Di gawiannya ti, urang kada dibariakan babini atawa balaki labih pada saikung. Lamunnya Ka Ipin sawat takawin jua lawan pandayangan tuti, kaduanya pacangan diampihi bagawi. Cah, maraha! Biar jara!”
            “Ubui, ubui, ubuiii,” Nining Niah bakitar, mamusut banyu mata Nurjanah nang titik ka lampit. “Bawa basabar ha, Tay ai. Bawa baistigpar. Batawakal. Mun pariannya habis jua judu ikam lawan laki ikam ti, napa ha? Tagal, ikam ti manis dagingan, Tay ai. Ayu ha. Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung, alam kada batawing. Malam Ahad? Ai, ni ti malam Ahad, kalu?”
            Babaya Nining Niah tuntung bapandir, lawang bunyi digandah urang. Nining Niah wan Nurjanah cagat puhun gulu.
            “Assalamualaikuuum...”
            “Waalaikumsalaaam...” Takajut Nining Niah manyahuti. Tangan hidin parak tahayut lampu samprung di lantai. Kasadakan. Tahambur sapah di muntung hidin.
            Nurjanah ampih basisigan, hancap mamusut banyu mata lawan tapih ayunan.
            “Ayu, Tay, lakasi dibukai. Siapang, hi? Ajin... Aku nia tuli biruangan. Suara laki ikam, ah, atawa urang subalah?”
         Nurjanah kada tahu, suara siapa tu. Mun suara lakinya, inya  pinandu. Sambil mamusut banyu mata, inya bajalan mambuka sasunduk lawang.
            Di palataran, ada urang. Maunjuk surat. “Titipan kawitan Ipin di Banjar...,” ujar, balalu turun. Pindanya supir taksi Hulu Sungai nang bagana di hilir. Di pinggir kartak, ada taksi L300
            Imbah maambil surat, Nurjanah naik ka rumah. Ka padu. Baparak ka lampu. Mambuka surat. Mambaca. “... Bada Jumahat, Abah Ambayau handak mandatangi ikam kamari. Bakandaraan sauranganan. Di Pal tujuhblas, diranjah trak. Salamatan haja di rumah sakit, tagal tagantar. Ngaran ikam haja nang dikuya...”
            Nurjanah asa sasak hinak. Raum panjanak. Duduk tadangkak.

TAMAT

Sumber: https://www.facebook.com/notes/ys-agus-suseno/kambang-kada-sakaki-kumbang-kada-saikung-alam-kada-batawing/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar