MENGKAJI CERPEN
“LAMARAN”
TUGAS
MATA KULIAH KAJIAN SASTRA
Dosen: Dra.
Maria L.A.S., M.Pd.
KELOMPOK 13
Kholil Anwar NIM
A1B112061
Noor Janah NIM
A1B112006
Ahmad
Muzakir NIM A1B109029
Trikardina NIM A1B112030
Andri Yannor NIM
A1B112060
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014
a. Unsur Intrinsik
1. Penokohan
a) Urip
Dia
adalah seorang anak yang masih sekolah yang tidak diketahui tingkatannya entah
itu, SD, SMP, atau SMA. Urip juga merupakan anak yang rajin belajar, tertuang
pada bait pertama cerpen, yaitu “Wajah Urip tergolek di atas meja belajar,
telungkup menindih buku pelajaran. Rupanya bocah itu tak kuasa lagi menahan
kantuk.”
b) Tia
Tia
di sini merupakan tokoh utama, bisa dilihat dari awal hingga akhir dia selalu
menjadi yang utama. Tia juga merupakan seorang anak perempuan dari sebuah
keluarga yang telah ditinggalkan ayahnya yang telah meninggal dunia dan hanya
hidup dengan ibu dan adiknya. Sifat Tia baik dan solehah, hal ini tertuang
dalam bait kedua.
“Tia segera membopong tubuh itu, lalu
memindahkannya ke kasur tipis.”
Tidak
lain adalah adiknya sediri. Sifat soleha Tia tertuang pada saat dia terkejut
ketika mendapat pekerjaan tetapi, dia harus melepas jilbab dan menggunakan rok
sebatas lutut. Tia menolak untuk mmelepaskan jilbab apalagi menggunakan rok
sebatas lutut dan akhirnya dia tidak diterima untuk bekerja, padahal dia sudah
diterima untuk bekerja tetapi dia
menolak untuk melepas jilbabnya. Hal ini, tertuang dalam sebuah percakapan.
“Kalau
saya tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia.
“Dengan
terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,” tukas peria itu tegas.
Pada
percakapan tersebut tertuang bahwa Tia tidak ingin melepas jilbabnya dan dengan
terpaksa pimpinan perusahaan itu tidak menerimanya.
Selain
hal di atas Tia juga orang yang berpendirian teguh dengan prinsipnya. Hal ini tertiang
pada paragraf ke enam bagian dua, yaitu
“sekali
pun harus kelaparan saya tidak akan melepaskan jilbab saya. Apalagi sekedar
kehilangan kesempatan bekerja di tempat Anda!” tukas Tia marah. Pada percakapan
tersebut juga menandakan Tia juga salah satu tokoh yang bisa marah.
c) Mak
(Ibunya Tia dan Urip)
Mak
di sini adalah ibunya Tia Dan Urip, dia adalah seorang tokoh yang penyabar,
religius, lemah lembut, dan bijak. Sifat penyabar, religius, dan lemah lembut
Mak di sini tertuang dalam percakapan.
“Ya, nddak apa. Namanya namanya juga berikthiar. Mesti
sabar. Tawakal. Yang penting berani mencoba. Tak boleh keburu menyerah apalagi
putus asa. Jangan lupa berdoa. Mudah-mudahan Allah memberi jalan keluar. Eih,
apa besok kamu masih mau mencoba?” pada percakapn ini sangat terlihat keramahan
dan kelembutan ibu dalam berbicara dengan Tia. Ditambah dengan kereligiusan ibu
memberikan saran kepada anaknya Tia.
Kebijaksanaan Mak di sini tertuang pada percakapan
berikut.
“Ya, sudah. Kalau begitu kamu istirahat. Jangan
memaksakan diri,” ujar Mak bijak.
d) Pria
berkumis tipis dengan pakaian parlente dan berdasi (bagian penerimaan karyawan
pada sebuah Plaza)
Pria
ini memiliki sifat yang tegas. Hal ini tertuang dalam sebuah percakapanya
,yaitu.
“Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,” tukas
pria itu tegas.
Penulis
menokohkan bahwa pria berkumis ini bersifat tegas dan sangan terlihat pada
keterangan dari sebuah percakapannya yaitu, “tukas pria itu tegas.”
e) Bapak
(sudah meninggal dunia)
Bapak
di dalam cerpen ini sudah meninggal dunia. Bapak memiliki sifat yang hampir
sama dengan ibu yaitu bijaksana dan religius. Hal ini tertuang dalam
percakapan.
“Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian
seperti kanak-kanak. Ini bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, ke mana pun kamu
tak boleh memakai jilbab!”
“ini bukan masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada
itikad dan kemauan. Apakah kamu sampai hati kalau bapakmu menanggung dosa
lantaran membiarkan aurat anaknya terbuka?”
Pada dua perkakapan tersebut sangan terlihat kebijaksanaan
dan ketegasan seorang bapak kepada anaknya agar menjadi yang lebih baik dan
kereligiusan seorang bapak.
f) Budiman
Sugianto (pria berkacamata dan pimpinan perusahaan)
Budiman
Sugianto adalah seorang pimpinan sebuah perusahaan di mana Tia melamar pekerjaan,
tetapi gagal karena Tia tidak bersedia untuk melepaskan jilbabnya. Pada
akhirnya pria ini datang kerumah Tia untuk melamar tia karena suatu alasan yang
tertuang dalam percakapan berikut ini.
“Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah
dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya melamar Dik Tia menjadi
istri saya. Kalau ibu setuju, dalam bulan ini juga saya akan mengutus orangtua
saya.”
2. Latar
(setting)
a)
Latar tempat
1) Di
meja belajar
Di atas meja belajar
inilah Urip tertidur, setelah tidak tahan lagi menahan kantuknya setelah
belajar.
2) Di
kasur
Tia membopong adiknya
yang tertidur di atas meja belajar, lalu memindahkanya ke kasur tipis.
3) Di
dalam kamar
Tia menemukan adiknya
yang tertidur di atas meja belajar di dalam sebuah kamar. Setelah mengangkat
adiknya ke atas kasur Tia segera keluar dari kamar itu.
4) Di
ruang dapur
Di sinilah terjadi
percakapan antara Mak dan Tia yang pada saat itu Mak sedang membungkus adonan
kue pais dan Tia segera ikut membantu.
5) “Gemilang
Plaza”
Di Gemilang Palaza
inilah tempat Tia melamar pekerjaan, tetapi tia gagal karena perusahaan ini
meminta Tia untuk melapaskan jilbab dan mengenakan rok sebatas lutut pada saat
bekerja. Tetapi Tia tidak mau melakukan hal itu.
6) Di
rumah
Latar ini menjadi latar
utama dalam cerpen yang berjudul Lamaran oleh Aliansyah Jumbawuya.
7) Di
dipan
Latar ini digunakan
pada saat Tia pulang dari tempat melamar
pekerjaan. Setelah itu dia istirahat di atas dipan di dalam kamarnya.
8) Di
ruangan perusahaan
Di sini sebuah ruangan tempat
Tia melamar pekerjaan. Pada saat ini tia melihat sebuah potret besar yang
memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit ayahnya yang
berpeci dan ibunya yang berjilbab.
9) Di
depan rumah
Di depan rumah Tia
membantu ibunya yang sedang berjualan es cendol, pisang goreng, pais sagu, apam
serabi, dan lupis.
10)
Di ruang tamu
Ini adalah latar
terakhir dalam cerpen ini. Dalam ruang tamu yang Cuma ada sepasang kursi rotan. Di sinilah percakapan Mak dan
Budiman Sugianto yang ingin melamar Tia.
b)
Latar waktu
1) Malam
hari
Latar waktu pertama
yang digunakan adalah pada waktu malam hari, yaitu ketika Urip tertidur di atas
meja belajarnya.
2) Sore
hari
Ketika Tia memergoki
percakapan Urip dengan Mak.
3) Pagi
hari
Ketika Tia berpamitan
dengan Mak untuk pergi melamar pekerjaan.
4) Tengah
hari
Ketika Tia pulang dari
tempat melamar pekerjaan dan pada saat ini Tia lebih cepat pulannya dari
hari-hari biasannya dia melamar pekerjaan.
5) Masa
lalu (ketika bapaknya masih hidup dan Tia baru masuk SMA)
Di sini menggunakan
alur mundur, yaitu kembali pada masa lampau ketika bapaknya masih hidup.
6) Minggu
pagi
Ketika Tia sedang
membantu Mak berjualan di depan rumah mereka.
c)
Latar suasana
1) Sunyi,
tenang, dan sedih
Latar
ini terdapat pada paragraf pertama dan kedua. Saat itu Tia menemukan adiknya
yang tertidur di atas meja belajar pada malam hari dan dalam keadaan sunyi dan
tenang. Juga ada kesedihan dalam diri Tia ketika melihat adiknya.
2) Berdebar-debar
(gugup)
Ini terdapat ketika Tia
diwawancarai pada saat itu Tia merasa gugup namun, dia berusaha tetap tenang.
3) Terkejut
Tia terkejut ketika dia
diterima bekerja pada suatu perusahaan. Dia merasa tidak percaya semudah itu
diterima di sebuah perusahaan namun,
pada akhirnya gagal karena suatu alasan. Juga pada saat dia mendengar bahwa di perusahaan itu bekerja
harus melepaskan jilbab dan mengenakan rok sebatas lutut. Latar terkejut juga
terdapat pada paragraf pertama pada bagian tiga, pada saat seorang pria datang
yang ternyata itu adalah bos perusahaan tempat dia melamar pekerjaan.
4) Marah
Latar ini terdapat pada
paragraf kelima bagian dua. Pada saat itu Tia mengucapkan kata-kata yang
bernada marah pada seorang pemimpin perusahaan yang mewawancarainya.
3. Alur
Cerpen
yang berjudul “lamaran” ini menggunakan alur campran (maju-mundur). Cerpen ini
bercerita tentang seorang perempuan yang sedang melamar(mencari) pekerjaan.
Dari awal cerita menggunakan alur maju tetapi pada pertengahan cerita Tia(tokoh
utama) menghayal/mengingat tentang masa lalunya ketika ayahnya berbicara
padanya. Ini merupakan alur mundur dalam cerpen. Oleh sebab itu cerpen ini
menggunakan alur campuran (maju-mundur).
Selain
alur campuran yang digunakan, cerpen ini juga menggunakan alur terbuka.
Terbukti pada akhir cerita penulis membiarkan cerita tidak berakhir, tetapi
membiarkan pembaca berimajinasi untuk melanjutkan ceritannya. Dalam kutipan ini
adalah bukti cerpen ini menggunakan alur terbuka. “Kalau Ibu sih setuju aja.
Tapi terserah nak Tia, karena dia yang akan menjalani,” ujar Mak Rukiyah. Ia
sama sekali tak menyangka kalau putrinya bakal dilamar.
4. Majas
a) Personifikas
Majas personifikasi
ditemukan dalam cerpen ini yaitu, “Tatapan dia tajam menyusuri, dari ujung
kepala hingga ujung kaki Tia.” Percakapan ini merupakan kalimat yang
menggunakan majas personifikasi.
b) Hiperbola
Majas hiperbola
ditemukan dalam cerpen ini yaitu, “Tubuhnya seperti dipasak di lantai.” Kalimat
ini merupakan majas hiperbola.
5. Sudut
pandang
Pada
cerpen yang berjudul “Lamaran” karya aliansyah Jumbawuya sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang orang ketiga. Sebagai bukti pengarang
menggunaakan nama tokoh secara lansung seperti, Urip, Tia, Mak, dan Budiman
Sugianto dan Bapak. Ada beberapa tokoh yang digambarkan secara simbolis yaitu,
pria berkumis tipis dengan pakaian parlente dan pria berkacamata yang namanya
Budiman Sugianto.
6. Tema
Tema dari cerpen yang berjudul “lamaran”
adalah pernikahan. Seorang pria melamar (menjadikan istri) seorang perempuan
karena sikapnya yang istiqomah dan kesungguhannya memelihara kehormatan.
Terdapat pada kutipan “Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap
istiqomah dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya kemari
bermaksud untuk melamar Dik Tia menjadi istri saya. Kalau ibu setuju, dalam
bulan ini juga saya akan mengutus orang tua saya.” Cerpen di atas bisa diganti
judulnya dengan “Berkah dari Menutup Aurat”
7. Amanat
Amanat atau pesan dari cerpen di atas adalah
agar kita istiqomah dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah dan taat kepada
orang tua. Suatu pekerjaan yang baik pasti akan menghasilkan kebaikan.
Seorang perempuan yang bernama Tia mulai
mengenakan jilbab karena mematuhi perintah bapaknya. Terdapat pada kutipan
“Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini
Bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, kemana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
Kemudian Tia bertekad bulat untuk tidak
melepas jilbabnya walaupun harus kehilangan kesempatan bekerja. Karena dia
tidak mau mengkhianati amanah almarhum bapaknya dan tidak mau menyepelekan
hukum Allah. Terdapat pada kutipan “Lalu, apakah sekarang ia mesti menanggalkan
jilbabnya demi meperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak akan pernah! Karena itu sama
saja dengan mengkhianatan amanah almarhum bapak. Terlebih lagi itu sama saja
dengan menyepelekan hukum Allah. Tekad Tia sudah bulat, akan melepas peluang
kerja itu. Daripada harus menelantarkan aqidah.” Dan akhirnya Tia menghasilkan
kebaikan, dia dilamar karena keistiqomahannya. Terdapat pada kutipan “Tak
banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan
memelihara kehormatan. Karena itu, saya kemari bermaksud untuk melamar Dik Tia
menjadi istri saya.”
b.
Unsur Ekstrinsik
Dalam cerpen ini terdapat beberapa unsur
luar (ekstrinsik) yang akan dijabarkan sebagai berikut.
1. Nilai
ekonomi adalah nilai yang berhubungan dengan keadaan ekonomi para tokoh dalam
cerpen. Potongan cerpennya:
Tia segera
membopong tubuh itu, lalu memindahkannya ke kasur tipis. Sejenak ia tertegun,
memandangi lekat-lekat sosok adiknya yang terbujur. Di wajah yang polos itu,
Tia seperti melihat serpihan mimpi yang terpendam. Haruskah keadaan
memupuskan impian Urip untuk terus bersekolah?
“Mak, tadi Bu
Guru nanya lagi kapan Urip melunasi uang iuran yang tertunggak empat bulan?
Jika tidak, katanya Urip nggak boleh ikut ujian.”
Tanpa sengaja
sore tadi Tia memergoki percakapan Urip dengan Mak. Dan sampai kini kalimat
tersebut terus terngiang-ngiang di telinganya. Padahal Tia tahu utang Mak
kepada Haji Sulaiman untuk biaya pengobatan dan pemakaman bapak saja belum
bisa dilunasi.
|
Pada potongan cerpen di atas
menggambarkan keadaan ekonomi keluarga Mak Rukayah. Dia yang masih memiliki hutang
untuk biaya pengobatan dan pemakaman suaminya pada Haji Sulaiman dan harus
berusaha keras pula untuk membayar iuran sekolah anaknya, Urip. Nilai ekonomi
dalam cerpen ini terletak pada narasinya yang kemudian digambarkan melalui
percakapan tokoh.
2.
Nilai agama adalah suatu nilai yang berhubungan dengan agama atau yang
bersifat mengenai hal keagamaan para tokoh dalam cerpen. Potongan cerpennya:
Dulu ketika
bapaknya masih hidup, tepatnya ketika ia baru masuk SMA, Tia masih belum
mengenakan jilbab. Suatu hari bapaknya menegur, “Tia, kamu sudah besar. Tak
pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini Bapak belikan jilbab. Mulai
sekarang, ke mana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
“Tapi Tia
belum siap Pak.”
“Ini bukan
masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada itikad dan kemauan. Apa kamu
sampai hati kalau Bapakmu menanggung dosa lantaran membiarkan aurat anaknya
terbuka?”
Ya, semenjak
itulah Tia mengenakan jilbab.
Lalu, apakah
sekarang ia mesti menanggalkan jilbabnya demi memperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak
akan pernah! Karena itu sama saja dengan mengkhianati amanah almarhum bapak.
Terlebih lagi sama saja dengan menyepelekan hukum Allah.
Tekad Tia
sudah bulat, akan melepas peluang kerja itu. Daripada harus menelantarkan
aqidah.
|
Dalam potongan cerpen di atas dapat kita
lihat bagaimana pengarang menggambarkan nilai agama (Islam) pada narasi dan
percakapan tokohnya. Nilai agama dalam cerpen ini berhubungan dengan suatu
hukum atau aqidah agama yang bersangkutan.
3.
Nilai moral adalah nilai yang berhungan dengan etika atau moral para
tokoh dalam cerpen. Potongan cerpennya:
1.
|
“Eeit tunggu,”
cegah pria itu menghentikan langkah Tia.
“Besok waktu
masuk kerja, jangan lupa jilbabnya dilepas. Juga kenakan rok sebatas lutut!”
Apaaaa?! Tia
tertegun. Tubuhnya terasa dipasak di lantai.
“Maksud
Bapak?” sergah Tia dengan mulut ternganga.
“Di sini kami
tidak memperkenankan karyawan mengenakan jilbab. Sasaran konsumen kita adalah
semua kalangan. Jangan sampai lantaran ada yang berjilbab, pembeli nonmuslim
jadi apriori” jelas pria itu.
“Kalau saya
tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia
“Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,”
tukas pria itu tegas.
|
2.
|
Astaghfirullahal adzim!
Beginikah sekarang cara orang merekrut tenaga kerja? Diskriminatif terhadap
kaum muslimah berjilbab, runtut Tia sambil menatap sinis pada pria berkaca
mata di depannya.
“Saya kira, di
mana pun Mbak melamar, akan sulit diterima kalau Mbak tetap bersikukuh untuk
tidak menanggalkan jilbab. Termasuk di perusahaan yang saya pimpin,” ujar
pria muda itu dengan wajah dingin.
Sejurus
pandangan Tia tertumbuk pada potret besar yang dipajang di ruangan itu.
Potret tersebut memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit
ayahnya yang berpeci dan ibunya yang berjilbab. Huuh, ternyata semua itu
sekadar aksesoris kamuflase, gumam Tia. Sama sekali tidak sinkron dengan
sikap dia sekarang yang menolak calon karyawati yang ngotot tidak bersedia
membuka jilbab.
|
Dalam kedua potongan
cerpen di atas dapat kita lihat pengarang menggambarkan nilai moral atau etika
pada narasi dan percakapan tokohnya. Nilai moral dalam cerpen ini menjelaskan
mengenai diskriminasi pekerjaaan atas perempuan yang berjilbab.
c. Keterikatan
1. Tema
dan judul
Tema dari cerpen yang
berjudul “lamaran” adalah pernikahan dan judulnya adalah lamaran. Di dalam
suatu pernikahan sangat erat kaitanya dengan lamar-melamar. Bahkan, sebelum
sebuah pernikahan dilaaksanakan harus ada dulu sebuah lamaran.
2. Tema
dan amanat
Amanat atau pesan dari
cerpen di atas adalah agar kita istiqomah dalam melaksanakan kewajiban kepada
Allah dan taat kepada orang tua. Suatu pekerjaan yang baik pasti akan
menghasilkan kebaikan. Tema dari cerpen
ini adalah pernikahan. Dalam cerpen ini Tia merupakan orang yang istikomah dan
religius sehingga dia sangat susah sekali untuk melepas jilbabnya. Pada
akhirnya karena kereligiusannya itu seorang pria melamarnya untuk menjadi
istri. Karena, Mario teguh pernah berkata “seburuk-buruknya lelaki dia akan
mencari istri yang baik untuk anak-anaknya.”
3. Tema
dan latar
Latar tempat yang digunakan yang lebih dominan
adalah di rumah. Jadi, ada sebuah keterkaitan antara tema dan latar. Untuk
sebuah lamaran untuk menjadikan Tia istrinya seorang pria itu datang ke rumah
Tia dan bertemu Mak.
d. Cerpen
LAMARAN
Oleh: Aliansyah
Jumbawuya
Wajah
Urip tergolek di atas meja belajar, telungkup menindih buku pelajaran. Rupanya
bocah itu tak kuasa lagi menahan kantuk.
Tia segera
membopong tubuh itu, lalu memindahkannya ke kasur tipis. Sejenak ia tertegun,
memandangi lekat-lekat sosok adiknya yang terbujur. Di wajah yang polos itu,
Tia seperti melihat serpihan mimpi yang terpendam. Haruskah keadaan memupuskan
impian Urip untuk terus bersekolah?
“Mak, tadi Bu
Guru nanya lagi kapan Urip melunasi uang iuran yang tertunggak empat bulan?
Jika tidak, katanya Urip nggak boleh ikut ujian.”
Tanpa sengaja
sore tadi Tia memergoki percakapan Urip dengan Mak. Dan sampai kini kalimat
tersebut terus terngiang-ngiang di telinganya. Padahal Tia tahu utang Mak
kepada Haji Sulaiman untuk biaya pengobatan dan pemakaman bapak saja belum bisa
dilunasi.
Perlahan tangan
Tia meraih selimut, dan menutupkan ke tubuh adiknya yang tertidur pulas.
Kemudian beranjak ke luar kamar.
Di ruang dapur
Mak tengah membungkus adonan kue pais. Tia segera ikut membantu.
“Bagaimana Nak,
apa lamaranmu tadi siang diterima?”
“Belum, Mak…”
sahut Tia dengan nada lemah.
“Ya, ndak apa.
Namanya juga berikhtiar. Mesti sabar. Tawakal. Yang pentig berani mencoba. Tak
boleh keburu menyerah apalagi putus asa. Jangan lupa berdoa. Mudah-mudahan
Allah memberi jalan keluar. Eih, apa besok kamu masih mau mencoba?” ujar Mak
membesarkan hati Tia.
Tia mengantuk.
“Ya, udah. Kalau
begitu lebih baik sekarang tidur. Pekerjaan ini biar Mak yang bereskan. Jangan
lupa nanti malam shalat tahajud.”
Keesokan paginya
Tia berpamitan kepada Mak. Tak lupa mencium tangan perempuan tua itu. Di
tangannya Tia menenteng map. Juga Koran yang berisi iklan lowongan pekerjaan.
Kali ini ia
bermaksud langsung menuju “Gemilang Plaza”. Katanya, di sana sedang membutuhkan
karyawan baru.
Dan, ketika Tia
tiba di plaza tersebut beberapa orang terlihat antri menunggu, sama seperti
dirinya berusaha melamar pekerjaan.
Setelah lama
menunggu akhirnya sampai juga gilirannya. Dada Tia sedikit berdebar-debar. Tapi
ia berusaha tenang, tidak ingin terlihat grogi.
Di balik meja
itu, pria berkumis tipis dengan pakaian parlente, mengajukan beberapa
pertanyaan. Tia berusaha menjawab sedapat mungkin. Pria itu mangut-mangut,
sambil membolak-balik lembaran biodata dan surat lamaran yang diajukan Tia.
Tiba-tiba pria
itu meminta Tia berdiri. Tatapan dia tajam menyusuri, dari ujung kepala hingga
kaki Tia. Lalu memerintahkan Tia berbalik menghadap ke belakang. Kemudian
berputar ke kiri dan ke kanan.
Setelah menyuruh
duduk kembali, pria berdasi itu berkata, “Anda diterima. mulai besok sudah bisa
masuk kerja!”
“Betul ini,
Pak?” Tia masih setengah tak percaya. Tapi ia tetap tak bisa menyembunyikan
wajahnya yang mendadak berbinar.
“Iya. Apa saya
terlihat main-main?”
“Tii.. tidaak
Pak,” sahut Tia tergagap-gagap.
“Kalau begitu,
sekarang saya permisi dulu Pak. Terima kasih!”
“Eeit tunggu,”
cegah pria itu menghentikan langkah Tia.
“Besok waktu
masuk kerja, jangan lupa jilbabnya dilepas. Juga kenakan rok sebatas lulut!”
Apaaa?! Tia
tertegun, tubuhnya seperti dipasak di lantai.
“Maksud Bapak?”
sergah Tia dengan mulut ternganga.
“Di sini kami
tidak memperkenankan karyawan mengenakan jilbab. Sasaran konsumen kita adalah
semua kalangan. Jangan sampai lantaran ada yang berjilbab, pembeli Nonmuslim
jadi apriori,” jelas pria itu.
“Kalau saya
tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia.
“Dengan
terpaksa, kami tidak bisa menerima anda,” tukas pria itu tegas.
Tia pun tak mau
lagi berdebat panjang. Ia segera minggat dari tempat itu. Nyalinya untuk
melamar pekerjaan ke tempat lain ikut ciut. Tidak seperti biasanya, tengah hari
ia sudah balik ke rumah.
“Ada apa Tia,
kok cepat pulangnya?” Tanya Mak yang heran melihat anaknya.
“Nggak apa-apa
Mak. Tia Cuma nggak enak badan.”
“Ya, sudah.
Kalau begitu kamu istirahat. Jangan memaksakan diri,” ujar Mak bijak.
Tia langsung
menghempaskan tubuhnya ke dipan. Beberapa saat kemudian pandangannya menerawang
menekuri langit-langit kamar.
Dulu ketika
bapaknya masih hidup, tepatnya ketika ia baru masuk SMA, Tia masih belum
mengenakan jilbab. Suatu hari bapaknya menegur, “Tia, kamu sudah besar. Tak
pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini Bapak belikan jilbab. Mulai
sekarang, kemana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
“Tapi Tia belum
siap Pak.”
“Ini bukan
masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada itikad dan kemauan. Apa kamu sampai
hati kalau Bapakmu menanggung dosa lantaran membiarkan aurat anaknya terbuka?”
Ya, semenjak
itulah Tia mengenakan jilbab.
Lalu, apakah
sekarang ia mesti menanggalkan jilbabnya demi meperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak
akan pernah! Karena itu sama saja dengan mengkhianatan amanah almarhum bapak.
Terlebih lagi itu sama saja dengan menyepelekan hukum Allah.
Tekad Tia sudah
bulat, akan melepas peluang kerja itu. Daripada harus menelantarkan aqidah.
“Mungkin belum
rezekiku. Masih banyak kesempatan lain, kok,” gumam Tia. Dia berjanji dalam
hati, besok akan kembali melamar pekerjaan. Karena ia yakin tidak semua
pengusaha bermental kapitalis.
***
Astaghfirullahal
adzim! Beginikah sekarang cara orang merekrut
tenaga kerja? Diskriminatif terhadap muslimah berjilbab, runtut Tia sambil
menatap sinis pada pria berkaca mata di depannya.
“Saya kira, di
mana pun Mbak melamar, akan sulit diterima kalau Mbak bersikokoh untuk tidak
menanggalkan jilbab. Termasuk di perusahaan yang saya pimpin,” ujar pria muda
itu dengan wajah dingin.
Sejurus
pandangan Tia tertumbuk pada potret besar yang dipajang di ruangan itu. Potret
tersebut memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit ayahnya
yang berpeci dan ibunya yang berjilbab. Huuh, ternyata semua itu sekadar
aksesoris kamuflase, gumam Tia. Sama sekali tidak sinkron dengan sikap dia
sekarang yang menolak calon karyawati yang ngotot tidak bersedia membuka
jilbab.
“Bagaimana, apa
Mbak bersedia menanggalkan jilbab? Tidak sulit kok,” sela pria berkaca mata itu
sambil tersenyum menyeringai.
Tia tambah
mangkel.
“Sekali pun
harus kelaparan saya tidak akan melepaskan jilbab saya. Apalagi sekadar
kehilangan kesempatan bekerja di tempat Anda!” tukas Tia marah. Tia cepat
menyambar map lamarannya, dan tak sempat memperhatikan kalau kertas riwayat
hidupnya tercecer, sambil berlalu meninggalkan ruangan itu.
***
Minggu pagi.
Tia tengah asyik
membantu ibunya berjualan es cendol, pisang goreng, pais sagu, apam serabi, dan
lupis di depan rumahnya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan seorang pria.
Bukankah, bukankah… dia itu bos perusahaan tempat Tia kemarin melamar? Apa
maksudnya dia kemari? Ingin minta maaf karena telah melecehkan Tia kemarin?
Atau…? Tia cuma bisa menebak-nebak. Dan berpura-pura tak acuh dengan berlagak
sibuk mencuci piring.
“Maaf, apa betul
di sini rumah nyonya Rukayah, ibunya Tia Ningrum?”
“Betul. Anda
siapa?”
“Saya Budiman
Sugianto, pimpinan perusahaan di mana Tia kemarin melamar. Ada yang ingin saya
bicarakan pada ibu.”
“O, silakan
masuk,” sambut Mak Rukayah.
Di ruang tamu
itu, yang cuma ada sepasang kursi rotan, tampak Mak tengah serius bicara dengan
Budiman. Rupanya Budiman menuturkan peristiwa kemarin, bahwa ia berbuat semua
itu semata untuk menguji sejauhmana kesungguhan Tia mempertahankan jilbabnya.
“Tak banyak
wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan memelihara
kehormatan. Karena itu, saya kemari bermaksud untuk melamar Dik Tia menjadi
istri saya. Kalau ibu setuju, dalam bulan ini juga saya akan mengutus orang tua
saya.”
“Kalau Ibu sih
setuju aja. Tapi terserah nak Tia, karena dia yang akan menjalani,” ujar Mak
Rukayah. Ia sama sekali tak menyangka kalau putrinya bakal dilamar.
Banjarmasin, 7
November 2002
Daftar
Pustaka
Jumbawuya ALiansyah. 2011. Kumpulan Cerpen Sayap-Sayap Patah Perempuan
Bagau. Tahura Media: Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar