Jumat, 12 Juni 2015

MENGKAJI CERPEN “LAMARAN”

                                                    MENGKAJI CERPEN
                                                       “LAMARAN”   
TUGAS MATA KULIAH KAJIAN SASTRA
Dosen: Dra. Maria L.A.S., M.Pd.
                                                                                     
KELOMPOK 13
Kholil Anwar              NIM A1B112061
Noor Janah                NIM A1B112006
Ahmad Muzakir       NIM A1B109029
Trikardina                 NIM A1B112030
Andri Yannor             NIM A1B112060



PROGRAM  STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014


 a. Unsur Intrinsik
1.      Penokohan
a)      Urip
Dia adalah seorang anak yang masih sekolah yang tidak diketahui tingkatannya entah itu, SD, SMP, atau SMA. Urip juga merupakan anak yang rajin belajar, tertuang pada bait pertama cerpen, yaitu “Wajah Urip tergolek di atas meja belajar, telungkup menindih buku pelajaran. Rupanya bocah itu tak kuasa lagi menahan kantuk.”
b)     Tia
Tia di sini merupakan tokoh utama, bisa dilihat dari awal hingga akhir dia selalu menjadi yang utama. Tia juga merupakan seorang anak perempuan dari sebuah keluarga yang telah ditinggalkan ayahnya yang telah meninggal dunia dan hanya hidup dengan ibu dan adiknya. Sifat Tia baik dan solehah, hal ini tertuang dalam bait kedua.
 “Tia segera membopong tubuh itu, lalu memindahkannya ke kasur tipis.”
Tidak lain adalah adiknya sediri. Sifat soleha Tia tertuang pada saat dia terkejut ketika mendapat pekerjaan tetapi, dia harus melepas jilbab dan menggunakan rok sebatas lutut. Tia menolak untuk mmelepaskan jilbab apalagi menggunakan rok sebatas lutut dan akhirnya dia tidak diterima untuk bekerja, padahal dia sudah diterima  untuk bekerja tetapi dia menolak untuk melepas jilbabnya. Hal ini, tertuang dalam sebuah percakapan.
“Kalau saya tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia.
“Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,” tukas peria itu tegas.
Pada percakapan tersebut tertuang bahwa Tia tidak ingin melepas jilbabnya dan dengan terpaksa pimpinan perusahaan itu tidak menerimanya.
Selain hal di atas Tia juga orang yang berpendirian teguh dengan prinsipnya. Hal ini tertiang pada paragraf ke enam bagian dua, yaitu
“sekali pun harus kelaparan saya tidak akan melepaskan jilbab saya. Apalagi sekedar kehilangan kesempatan bekerja di tempat Anda!” tukas Tia marah. Pada percakapan tersebut juga menandakan Tia juga salah satu tokoh yang bisa marah.
c)     Mak (Ibunya Tia dan Urip)
Mak di sini adalah ibunya Tia Dan Urip, dia adalah seorang tokoh yang penyabar, religius, lemah lembut, dan bijak. Sifat penyabar, religius, dan lemah lembut Mak di sini tertuang dalam percakapan.
            “Ya, nddak apa. Namanya namanya juga berikthiar. Mesti sabar. Tawakal. Yang penting berani mencoba. Tak boleh keburu menyerah apalagi putus asa. Jangan lupa berdoa. Mudah-mudahan Allah memberi jalan keluar. Eih, apa besok kamu masih mau mencoba?” pada percakapn ini sangat terlihat keramahan dan kelembutan ibu dalam berbicara dengan Tia. Ditambah dengan kereligiusan ibu memberikan saran kepada anaknya Tia.
            Kebijaksanaan Mak di sini tertuang pada percakapan berikut.
            “Ya, sudah. Kalau begitu kamu istirahat. Jangan memaksakan diri,” ujar Mak bijak.
d)     Pria berkumis tipis dengan pakaian parlente dan berdasi (bagian penerimaan karyawan pada sebuah Plaza)
Pria ini memiliki sifat yang tegas. Hal ini tertuang dalam sebuah percakapanya ,yaitu.
            “Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,” tukas pria itu tegas.
Penulis menokohkan bahwa pria berkumis ini bersifat tegas dan sangan terlihat pada keterangan dari sebuah percakapannya yaitu, “tukas pria itu tegas.”
e)     Bapak (sudah meninggal dunia)
Bapak di dalam cerpen ini sudah meninggal dunia. Bapak memiliki sifat yang hampir sama dengan ibu yaitu bijaksana dan religius. Hal ini tertuang dalam percakapan.
            “Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, ke mana pun kamu tak boleh memakai jilbab!”
            “ini bukan masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada itikad dan kemauan. Apakah kamu sampai hati kalau bapakmu menanggung dosa lantaran membiarkan aurat anaknya terbuka?”
            Pada dua perkakapan tersebut sangan terlihat kebijaksanaan dan ketegasan seorang bapak kepada anaknya agar menjadi yang lebih baik dan kereligiusan seorang bapak.
f)      Budiman Sugianto (pria berkacamata dan pimpinan perusahaan)
Budiman Sugianto adalah seorang pimpinan sebuah perusahaan di mana Tia melamar pekerjaan, tetapi gagal karena Tia tidak bersedia untuk melepaskan jilbabnya. Pada akhirnya pria ini datang kerumah Tia untuk melamar tia karena suatu alasan yang tertuang dalam percakapan berikut ini.
            “Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya melamar Dik Tia menjadi istri saya. Kalau ibu setuju, dalam bulan ini juga saya akan mengutus orangtua saya.”
2.      Latar (setting) 
a)      Latar tempat
1)     Di meja belajar
Di atas meja belajar inilah Urip tertidur, setelah tidak tahan lagi menahan kantuknya setelah belajar.
2)     Di kasur
Tia membopong adiknya yang tertidur di atas meja belajar, lalu memindahkanya ke kasur tipis.
3)     Di dalam kamar
Tia menemukan adiknya yang tertidur di atas meja belajar di dalam sebuah kamar. Setelah mengangkat adiknya ke atas kasur Tia segera keluar dari kamar itu.
4)     Di ruang dapur
Di sinilah terjadi percakapan antara Mak dan Tia yang pada saat itu Mak sedang membungkus adonan kue pais dan Tia segera ikut membantu.
5)     “Gemilang Plaza”
Di Gemilang Palaza inilah tempat Tia melamar pekerjaan, tetapi tia gagal karena perusahaan ini meminta Tia untuk melapaskan jilbab dan mengenakan rok sebatas lutut pada saat bekerja. Tetapi Tia tidak mau melakukan hal itu.
6)     Di rumah
Latar ini menjadi latar utama dalam cerpen yang berjudul Lamaran oleh Aliansyah Jumbawuya.
7)     Di dipan
Latar ini digunakan pada  saat Tia pulang dari tempat melamar pekerjaan. Setelah itu dia istirahat di atas dipan di dalam kamarnya.
8)     Di ruangan perusahaan
Di sini sebuah ruangan tempat Tia melamar pekerjaan. Pada saat ini tia melihat sebuah potret besar yang memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit ayahnya yang berpeci dan ibunya yang berjilbab.
9)     Di depan rumah
Di depan rumah Tia membantu ibunya yang sedang berjualan es cendol, pisang goreng, pais sagu, apam serabi, dan lupis.
10) Di ruang tamu
Ini adalah latar terakhir dalam cerpen ini. Dalam ruang tamu yang Cuma ada sepasang  kursi rotan. Di sinilah percakapan Mak dan Budiman Sugianto yang ingin melamar Tia.
b)      Latar waktu
1)     Malam hari
Latar waktu pertama yang digunakan adalah pada waktu malam hari, yaitu ketika Urip tertidur di atas meja belajarnya.
2)     Sore hari
Ketika Tia memergoki percakapan Urip dengan Mak.
3)     Pagi hari
Ketika Tia berpamitan dengan Mak untuk pergi melamar pekerjaan.
4)     Tengah hari
Ketika Tia pulang dari tempat melamar pekerjaan dan pada saat ini Tia lebih cepat pulannya dari hari-hari biasannya dia melamar pekerjaan.
5)     Masa lalu (ketika bapaknya masih hidup dan Tia baru masuk SMA)
Di sini menggunakan alur mundur, yaitu kembali pada masa lampau ketika bapaknya masih hidup.
6)     Minggu pagi
Ketika Tia sedang membantu Mak berjualan di depan rumah mereka.
c)      Latar suasana
1)     Sunyi, tenang, dan sedih
Latar ini terdapat pada paragraf pertama dan kedua. Saat itu Tia menemukan adiknya yang tertidur di atas meja belajar pada malam hari dan dalam keadaan sunyi dan tenang. Juga ada kesedihan dalam diri Tia ketika melihat adiknya.
2)     Berdebar-debar (gugup)
Ini terdapat ketika Tia diwawancarai pada saat itu Tia merasa gugup namun, dia berusaha tetap tenang.
3)     Terkejut
Tia terkejut ketika dia diterima bekerja pada suatu perusahaan. Dia merasa tidak percaya semudah itu diterima  di sebuah perusahaan namun, pada akhirnya gagal karena suatu alasan. Juga pada saat dia  mendengar bahwa di perusahaan itu bekerja harus melepaskan jilbab dan mengenakan rok sebatas lutut. Latar terkejut juga terdapat pada paragraf pertama pada bagian tiga, pada saat seorang pria datang yang ternyata itu adalah bos perusahaan tempat dia melamar pekerjaan.
4)     Marah
Latar ini terdapat pada paragraf kelima bagian dua. Pada saat itu Tia mengucapkan kata-kata yang bernada marah pada seorang pemimpin perusahaan yang mewawancarainya.
3.      Alur
Cerpen yang berjudul “lamaran” ini menggunakan alur campran (maju-mundur). Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan yang sedang melamar(mencari) pekerjaan. Dari awal cerita menggunakan alur maju tetapi pada pertengahan cerita Tia(tokoh utama) menghayal/mengingat tentang masa lalunya ketika ayahnya berbicara padanya. Ini merupakan alur mundur dalam cerpen. Oleh sebab itu cerpen ini menggunakan alur campuran (maju-mundur).
Selain alur campuran yang digunakan, cerpen ini juga menggunakan alur terbuka. Terbukti pada akhir cerita penulis membiarkan cerita tidak berakhir, tetapi membiarkan pembaca berimajinasi untuk melanjutkan ceritannya. Dalam kutipan ini adalah bukti cerpen ini menggunakan alur terbuka. “Kalau Ibu sih setuju aja. Tapi terserah nak Tia, karena dia yang akan menjalani,” ujar Mak Rukiyah. Ia sama sekali tak menyangka kalau putrinya bakal dilamar.
4.      Majas
a)     Personifikas
Majas personifikasi ditemukan dalam cerpen ini yaitu, “Tatapan dia tajam menyusuri, dari ujung kepala hingga ujung kaki Tia.” Percakapan ini merupakan kalimat yang menggunakan majas personifikasi.
b)     Hiperbola
Majas hiperbola ditemukan dalam cerpen ini yaitu, “Tubuhnya seperti dipasak di lantai.” Kalimat ini merupakan majas hiperbola.
5.      Sudut pandang
Pada cerpen yang berjudul “Lamaran” karya aliansyah Jumbawuya sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga. Sebagai bukti pengarang menggunaakan nama tokoh secara lansung seperti, Urip, Tia, Mak, dan Budiman Sugianto dan Bapak. Ada beberapa tokoh yang digambarkan secara simbolis yaitu, pria berkumis tipis dengan pakaian parlente dan pria berkacamata yang namanya Budiman Sugianto.
6.      Tema
Tema dari cerpen yang berjudul “lamaran” adalah pernikahan. Seorang pria melamar (menjadikan istri) seorang perempuan karena sikapnya yang istiqomah dan kesungguhannya memelihara kehormatan. Terdapat pada kutipan “Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya kemari bermaksud untuk melamar Dik Tia menjadi istri saya. Kalau ibu setuju, dalam bulan ini juga saya akan mengutus orang tua saya.” Cerpen di atas bisa diganti judulnya dengan “Berkah dari Menutup Aurat”
7.      Amanat
Amanat atau pesan dari cerpen di atas adalah agar kita istiqomah dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah dan taat kepada orang tua. Suatu pekerjaan yang baik pasti akan menghasilkan kebaikan.
Seorang perempuan yang bernama Tia mulai mengenakan jilbab karena mematuhi perintah bapaknya. Terdapat pada kutipan “Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini Bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, kemana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
Kemudian Tia bertekad bulat untuk tidak melepas jilbabnya walaupun harus kehilangan kesempatan bekerja. Karena dia tidak mau mengkhianati amanah almarhum bapaknya dan tidak mau menyepelekan hukum Allah. Terdapat pada kutipan “Lalu, apakah sekarang ia mesti menanggalkan jilbabnya demi meperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak akan pernah! Karena itu sama saja dengan mengkhianatan amanah almarhum bapak. Terlebih lagi itu sama saja dengan menyepelekan hukum Allah. Tekad Tia sudah bulat, akan melepas peluang kerja itu. Daripada harus menelantarkan aqidah.” Dan akhirnya Tia menghasilkan kebaikan, dia dilamar karena keistiqomahannya. Terdapat pada kutipan “Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya kemari bermaksud untuk melamar Dik Tia menjadi istri saya.”
b.      Unsur Ekstrinsik
Dalam cerpen ini terdapat beberapa unsur luar (ekstrinsik) yang akan dijabarkan sebagai berikut.
1.      Nilai ekonomi adalah nilai yang berhubungan dengan keadaan ekonomi para tokoh dalam cerpen. Potongan cerpennya:
Tia segera membopong tubuh itu, lalu memindahkannya ke kasur tipis. Sejenak ia tertegun, memandangi lekat-lekat sosok adiknya yang terbujur. Di wajah yang polos itu, Tia seperti melihat serpihan mimpi yang terpendam. Haruskah keadaan memupuskan impian Urip untuk terus bersekolah?
“Mak, tadi Bu Guru nanya lagi kapan Urip melunasi uang iuran yang tertunggak empat bulan? Jika tidak, katanya Urip nggak boleh ikut ujian.”
Tanpa sengaja sore tadi Tia memergoki percakapan Urip dengan Mak. Dan sampai kini kalimat tersebut terus terngiang-ngiang di telinganya. Padahal Tia tahu utang Mak kepada Haji Sulaiman untuk biaya pengobatan dan pemakaman bapak saja belum bisa dilunasi.

Pada potongan cerpen di atas menggambarkan keadaan ekonomi keluarga Mak Rukayah. Dia yang masih memiliki hutang untuk biaya pengobatan dan pemakaman suaminya pada Haji Sulaiman dan harus berusaha keras pula untuk membayar iuran sekolah anaknya, Urip. Nilai ekonomi dalam cerpen ini terletak pada narasinya yang kemudian digambarkan melalui percakapan tokoh.

2.  Nilai agama adalah suatu nilai yang berhubungan dengan agama atau yang bersifat mengenai hal keagamaan para tokoh dalam cerpen. Potongan cerpennya:
Dulu ketika bapaknya masih hidup, tepatnya ketika ia baru masuk SMA, Tia masih belum mengenakan jilbab. Suatu hari bapaknya menegur, “Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini Bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, ke mana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
“Tapi Tia belum siap Pak.”
“Ini bukan masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada itikad dan kemauan. Apa kamu sampai hati kalau Bapakmu menanggung dosa lantaran membiarkan aurat anaknya terbuka?”
Ya, semenjak itulah Tia mengenakan jilbab.
Lalu, apakah sekarang ia mesti menanggalkan jilbabnya demi memperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak akan pernah! Karena itu sama saja dengan mengkhianati amanah almarhum bapak. Terlebih lagi sama saja dengan menyepelekan hukum Allah.
Tekad Tia sudah bulat, akan melepas peluang kerja itu. Daripada harus menelantarkan aqidah.

Dalam potongan cerpen di atas dapat kita lihat bagaimana pengarang menggambarkan nilai agama (Islam) pada narasi dan percakapan tokohnya. Nilai agama dalam cerpen ini berhubungan dengan suatu hukum atau aqidah agama yang bersangkutan.

3.  Nilai moral adalah nilai yang berhungan dengan etika atau moral para tokoh dalam cerpen. Potongan cerpennya:
1.
“Eeit tunggu,” cegah pria itu menghentikan langkah Tia.
“Besok waktu masuk kerja, jangan lupa jilbabnya dilepas. Juga kenakan rok sebatas lutut!”
Apaaaa?! Tia tertegun. Tubuhnya terasa dipasak di lantai.
“Maksud Bapak?” sergah Tia dengan mulut ternganga.
“Di sini kami tidak memperkenankan karyawan mengenakan jilbab. Sasaran konsumen kita adalah semua kalangan. Jangan sampai lantaran ada yang berjilbab, pembeli nonmuslim jadi apriori” jelas pria itu.
“Kalau saya tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia
“Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima Anda,” tukas pria itu tegas.
2.
Astaghfirullahal adzim! Beginikah sekarang cara orang merekrut tenaga kerja? Diskriminatif terhadap kaum muslimah berjilbab, runtut Tia sambil menatap sinis pada pria berkaca mata di depannya.
“Saya kira, di mana pun Mbak melamar, akan sulit diterima kalau Mbak tetap bersikukuh untuk tidak menanggalkan jilbab. Termasuk di perusahaan yang saya pimpin,” ujar pria muda itu dengan wajah dingin.
Sejurus pandangan Tia tertumbuk pada potret besar yang dipajang di ruangan itu. Potret tersebut memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit ayahnya yang berpeci dan ibunya yang berjilbab. Huuh, ternyata semua itu sekadar aksesoris kamuflase, gumam Tia. Sama sekali tidak sinkron dengan sikap dia sekarang yang menolak calon karyawati yang ngotot tidak bersedia membuka jilbab.

Dalam kedua potongan cerpen di atas dapat kita lihat pengarang menggambarkan nilai moral atau etika pada narasi dan percakapan tokohnya. Nilai moral dalam cerpen ini menjelaskan mengenai diskriminasi pekerjaaan atas perempuan yang berjilbab.

c.      Keterikatan
1.      Tema dan judul
Tema dari cerpen yang berjudul “lamaran” adalah pernikahan dan judulnya adalah lamaran. Di dalam suatu pernikahan sangat erat kaitanya dengan lamar-melamar. Bahkan, sebelum sebuah pernikahan dilaaksanakan harus ada dulu sebuah lamaran.
2.      Tema dan amanat
Amanat atau pesan dari cerpen di atas adalah agar kita istiqomah dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah dan taat kepada orang tua. Suatu pekerjaan yang baik pasti akan menghasilkan kebaikan.  Tema dari cerpen ini adalah pernikahan. Dalam cerpen ini Tia merupakan orang yang istikomah dan religius sehingga dia sangat susah sekali untuk melepas jilbabnya. Pada akhirnya karena kereligiusannya itu seorang pria melamarnya untuk menjadi istri. Karena, Mario teguh pernah berkata “seburuk-buruknya lelaki dia akan mencari istri yang baik untuk anak-anaknya.”
3.      Tema dan latar
Latar  tempat yang digunakan yang lebih dominan adalah di rumah. Jadi, ada sebuah keterkaitan antara tema dan latar. Untuk sebuah lamaran untuk menjadikan Tia istrinya seorang pria itu datang ke rumah Tia dan bertemu Mak.




d.      Cerpen

LAMARAN
Oleh: Aliansyah Jumbawuya

Wajah Urip tergolek di atas meja belajar, telungkup menindih buku pelajaran. Rupanya bocah itu tak kuasa lagi menahan kantuk.
Tia segera membopong tubuh itu, lalu memindahkannya ke kasur tipis. Sejenak ia tertegun, memandangi lekat-lekat sosok adiknya yang terbujur. Di wajah yang polos itu, Tia seperti melihat serpihan mimpi yang terpendam. Haruskah keadaan memupuskan impian Urip untuk terus bersekolah?
“Mak, tadi Bu Guru nanya lagi kapan Urip melunasi uang iuran yang tertunggak empat bulan? Jika tidak, katanya Urip nggak boleh ikut ujian.”
Tanpa sengaja sore tadi Tia memergoki percakapan Urip dengan Mak. Dan sampai kini kalimat tersebut terus terngiang-ngiang di telinganya. Padahal Tia tahu utang Mak kepada Haji Sulaiman untuk biaya pengobatan dan pemakaman bapak saja belum bisa dilunasi.
Perlahan tangan Tia meraih selimut, dan menutupkan ke tubuh adiknya yang tertidur pulas. Kemudian beranjak ke luar kamar.
Di ruang dapur Mak tengah membungkus adonan kue pais. Tia segera ikut membantu.
“Bagaimana Nak, apa lamaranmu tadi siang diterima?”
“Belum, Mak…” sahut Tia dengan nada lemah.
“Ya, ndak apa. Namanya juga berikhtiar. Mesti sabar. Tawakal. Yang pentig berani mencoba. Tak boleh keburu menyerah apalagi putus asa. Jangan lupa berdoa. Mudah-mudahan Allah memberi jalan keluar. Eih, apa besok kamu masih mau mencoba?” ujar Mak membesarkan hati Tia.
Tia mengantuk.
“Ya, udah. Kalau begitu lebih baik sekarang tidur. Pekerjaan ini biar Mak yang bereskan. Jangan lupa nanti malam shalat tahajud.”
Keesokan paginya Tia berpamitan kepada Mak. Tak lupa mencium tangan perempuan tua itu. Di tangannya Tia menenteng map. Juga Koran yang berisi iklan lowongan pekerjaan.
Kali ini ia bermaksud langsung menuju “Gemilang Plaza”. Katanya, di sana sedang membutuhkan karyawan baru.
Dan, ketika Tia tiba di plaza tersebut beberapa orang terlihat antri menunggu, sama seperti dirinya berusaha melamar pekerjaan.
Setelah lama menunggu akhirnya sampai juga gilirannya. Dada Tia sedikit berdebar-debar. Tapi ia berusaha tenang, tidak ingin terlihat grogi.
Di balik meja itu, pria berkumis tipis dengan pakaian parlente, mengajukan beberapa pertanyaan. Tia berusaha menjawab sedapat mungkin. Pria itu mangut-mangut, sambil membolak-balik lembaran biodata dan surat lamaran yang diajukan Tia.
Tiba-tiba pria itu meminta Tia berdiri. Tatapan dia tajam menyusuri, dari ujung kepala hingga kaki Tia. Lalu memerintahkan Tia berbalik menghadap ke belakang. Kemudian berputar ke kiri dan ke kanan.
Setelah menyuruh duduk kembali, pria berdasi itu berkata, “Anda diterima. mulai besok sudah bisa masuk kerja!”
“Betul ini, Pak?” Tia masih setengah tak percaya. Tapi ia tetap tak bisa menyembunyikan wajahnya yang mendadak berbinar.
“Iya. Apa saya terlihat main-main?”
“Tii.. tidaak Pak,” sahut Tia tergagap-gagap.
“Kalau begitu, sekarang saya permisi dulu Pak. Terima kasih!”
“Eeit tunggu,” cegah pria itu menghentikan langkah Tia.
“Besok waktu masuk kerja, jangan lupa jilbabnya dilepas. Juga kenakan rok sebatas lulut!”
Apaaa?! Tia tertegun, tubuhnya seperti dipasak di lantai.
“Maksud Bapak?” sergah Tia dengan mulut ternganga.
“Di sini kami tidak memperkenankan karyawan mengenakan jilbab. Sasaran konsumen kita adalah semua kalangan. Jangan sampai lantaran ada yang berjilbab, pembeli Nonmuslim jadi apriori,” jelas pria itu.
“Kalau saya tetap mempertahankan jilbab?” gugat Tia.
“Dengan terpaksa, kami tidak bisa menerima anda,” tukas pria itu tegas.
Tia pun tak mau lagi berdebat panjang. Ia segera minggat dari tempat itu. Nyalinya untuk melamar pekerjaan ke tempat lain ikut ciut. Tidak seperti biasanya, tengah hari ia sudah balik ke rumah.
“Ada apa Tia, kok cepat pulangnya?” Tanya Mak yang heran melihat anaknya.
“Nggak apa-apa Mak. Tia Cuma nggak enak badan.”
“Ya, sudah. Kalau begitu kamu istirahat. Jangan memaksakan diri,” ujar Mak bijak.
Tia langsung menghempaskan tubuhnya ke dipan. Beberapa saat kemudian pandangannya menerawang menekuri langit-langit kamar.
Dulu ketika bapaknya masih hidup, tepatnya ketika ia baru masuk SMA, Tia masih belum mengenakan jilbab. Suatu hari bapaknya menegur, “Tia, kamu sudah besar. Tak pantas lagi berpakaian seperti kanak-kanak. Ini Bapak belikan jilbab. Mulai sekarang, kemana pun kamu tak boleh tanpa jilbab!”
“Tapi Tia belum siap Pak.”
“Ini bukan masalah siap atau tidak. Tapi lebih kepada itikad dan kemauan. Apa kamu sampai hati kalau Bapakmu menanggung dosa lantaran membiarkan aurat anaknya terbuka?”
Ya, semenjak itulah Tia mengenakan jilbab.
Lalu, apakah sekarang ia mesti menanggalkan jilbabnya demi meperoleh pekerjaan? Tidak! Tidak akan pernah! Karena itu sama saja dengan mengkhianatan amanah almarhum bapak. Terlebih lagi itu sama saja dengan menyepelekan hukum Allah.
Tekad Tia sudah bulat, akan melepas peluang kerja itu. Daripada harus menelantarkan aqidah.
“Mungkin belum rezekiku. Masih banyak kesempatan lain, kok,” gumam Tia. Dia berjanji dalam hati, besok akan kembali melamar pekerjaan. Karena ia yakin tidak semua pengusaha bermental kapitalis.
***
Astaghfirullahal adzim! Beginikah sekarang cara orang merekrut tenaga kerja? Diskriminatif terhadap muslimah berjilbab, runtut Tia sambil menatap sinis pada pria berkaca mata di depannya.
“Saya kira, di mana pun Mbak melamar, akan sulit diterima kalau Mbak bersikokoh untuk tidak menanggalkan jilbab. Termasuk di perusahaan yang saya pimpin,” ujar pria muda itu dengan wajah dingin.
Sejurus pandangan Tia tertumbuk pada potret besar yang dipajang di ruangan itu. Potret tersebut memperlihatkan bagaimana pria di depannya ini tengah diampit ayahnya yang berpeci dan ibunya yang berjilbab. Huuh, ternyata semua itu sekadar aksesoris kamuflase, gumam Tia. Sama sekali tidak sinkron dengan sikap dia sekarang yang menolak calon karyawati yang ngotot tidak bersedia membuka jilbab.
“Bagaimana, apa Mbak bersedia menanggalkan jilbab? Tidak sulit kok,” sela pria berkaca mata itu sambil tersenyum menyeringai.
Tia tambah mangkel.
“Sekali pun harus kelaparan saya tidak akan melepaskan jilbab saya. Apalagi sekadar kehilangan kesempatan bekerja di tempat Anda!” tukas Tia marah. Tia cepat menyambar map lamarannya, dan tak sempat memperhatikan kalau kertas riwayat hidupnya tercecer, sambil berlalu meninggalkan ruangan itu.
***
Minggu pagi.
Tia tengah asyik membantu ibunya berjualan es cendol, pisang goreng, pais sagu, apam serabi, dan lupis di depan rumahnya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan seorang pria. Bukankah, bukankah… dia itu bos perusahaan tempat Tia kemarin melamar? Apa maksudnya dia kemari? Ingin minta maaf karena telah melecehkan Tia kemarin? Atau…? Tia cuma bisa menebak-nebak. Dan berpura-pura tak acuh dengan berlagak sibuk mencuci piring.
“Maaf, apa betul di sini rumah nyonya Rukayah, ibunya Tia Ningrum?”
“Betul. Anda siapa?”
“Saya Budiman Sugianto, pimpinan perusahaan di mana Tia kemarin melamar. Ada yang ingin saya bicarakan pada ibu.”
“O, silakan masuk,” sambut Mak Rukayah.
Di ruang tamu itu, yang cuma ada sepasang kursi rotan, tampak Mak tengah serius bicara dengan Budiman. Rupanya Budiman menuturkan peristiwa kemarin, bahwa ia berbuat semua itu semata untuk menguji sejauhmana kesungguhan Tia mempertahankan jilbabnya.
“Tak banyak wanita seperti Dik Tia, yang punya sikap istiqomah dan kesungguhan memelihara kehormatan. Karena itu, saya kemari bermaksud untuk melamar Dik Tia menjadi istri saya. Kalau ibu setuju, dalam bulan ini juga saya akan mengutus orang tua saya.”
“Kalau Ibu sih setuju aja. Tapi terserah nak Tia, karena dia yang akan menjalani,” ujar Mak Rukayah. Ia sama sekali tak menyangka kalau putrinya bakal dilamar.

Banjarmasin, 7 November 2002

Daftar Pustaka

Jumbawuya ALiansyah. 2011. Kumpulan Cerpen Sayap-Sayap Patah Perempuan Bagau. Tahura Media: Banjarmasin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar